IBL

Pertandingan final putra Honda DBL East Java North Region antara SMA St. Louis 1 (Sinlui) Surabaya melawan Intan Permata Hati (IPH) School Surabaya berjalan seru. Dua kuarter pertama diakhiri dengan kedudukan imbang. Ketika laga berakhir, para pemain Sinlui bersorak sorai, menang 66-57.

Bagi siapa pun yang menyaksikan pertandingan antara Sinlui melawan IPH dua hari yang lalu (30 Agustus) akan merasakan bahwa laga berjalan tidak seimbang. Sinlui unggul satu 'pemain'!

Pada kuarter pertama, permainan Sinlui terorganisasi rapi. Mereka membuka ruang dengan baik. Melakukan screen untuk membuka jalan bagi rekan-rekannya sekaligus menutup jalur lawan yang ingin menjaga. Dengan cara ini, Sinlui menambah pundi-pundi.

Permainan IPH berbeda. Dari awal hingga akhir, IPH mengandalkan penetrasi dan atau main pos. Bila seorang pemain melakukan penetrasi, maka 99 persen ia akan melakukan tembakan (lay-up).

Ada satu pemain yang saya ingat melakukan penetrasi, tetapi kemudian di tengah jalan, setelah ditutup oleh pemain Sinlui, ia mengoper bola kepada rekannya. Pelatih di tepi lapangan marah bukan main. Dari sana saya yakin bahwa instruksinya memang jelas penetrasi, penetrasi, penetrasi. Apa pun yang terjadi.

Cara ini sangat efektif bagi IPH dalam menambah angka. Salah satu pemain IPH bahkan sangat istimewa. Saya lupa namanya, tetapi ia bisa menembak dengan tangan kiri atau kanan dengan sama baiknya!

Foul adalah salah satu cara menghentikan para pemain IPH. Tentu saja, ganjarannya adalah tembakan dua angka. Sayangnya (beruntungnya) tembakan bebas para pemain IPH tidak terlalu baik. Ini juga salah satu penyebab kekalahan IPH.

Lalu apa maksudnya “Sinlui unggul satu pemain”?

Kembali lagi, bagi siapa pun yang melihat pertandingan dua hari lalu, akan sangat merasakan bahwa IPH kekurangan satu pemain penting. Sementara Sinlui memiliki satu pemain penting yang sebaliknya sangat-sangat bagus.

Pemain yang saya maksudkan adalah pemain keenam.

Bukan, bukan pemain cadangan. Benar, pemain cadangan di basket memang dikenal dengan julukan sebagai pemain keenam (sixth man). Tetapi yang saya maksud adalah pemain keenam yang ikut 'berlaga' sepanjang pertandingan. Ia (mereka) ada para pendukung alias suporter.

Sepanjang pertandingan para pendukung Sinlui tak henti bernyanyi. Menabuh genderang, bertepuk riuh bahkan berteriak ketika para pemainnya mencetak angka atau ketika poin mereka mulai terkejar.

Para penonton Sinlui benar-benar menjadi persediaan bahan bakar yang tidak habis-habisnya bagi para pemain di lapangan.

Sebaliknya, para pendukung IPH bak sedang menyaksikan film horor. Sepi seperti kuburan.

Sepanjang laga, saya tidak mengingat ada tepukan penyemangat, sorai apresiasi atas cetakan angka demi angka dari para pemain IPH. Kecuali mungkin satu kali. Itu pun saya lupa kapan. Kalau tidak salah sekitar kuarter ketiga.

Di kuarter keempat, salah satu pemain andalan IPH sepertinya cedera. Ia keluar lapangan dan tidak kembali lagi. Ya, tak ada teriakan atau apresiasi dan penyemangat juga yang mengantar si pemain keluar lapangan.

Saat itulah momentum Sinlui datang. Mereka tancap gas dan unggul 66-57 ketika laga usai. Para pemain IPH tertunduk. Sunyi. Sunyi seperti para pendukung mereka sepanjang pertandingan. Beberapa pendukung bahkan mulai meninggalkan arena ketika laga belum usai.

Dari bangku penonton, saya hanya bisa berandai-andai. Andai pemain keenam IPH ikut 'bermain'. Hasilnya sangat-sangat mungkin akan berbeda.

Sayangnya, para pemain IPH bermain sendiri. Rekan-rekannya satu sekolah hanya hadir saja di DBL Arena. Tetapi tak menyalurkan bensin dengan tekanan tinggi agar api para pemain di lapangan berkobar menjilat menyala-nyala.

IPH punya skuat yang hebat. Pelatih yang juga hebat dan sangat saya segani. Namun bila pemain keenam mereka tidak berfungsi (seperti sekolah-sekolah lain), lama kelamaan gelora api bisa meredup.

Saya tidak menyaksikan laga-laga IPH di semifinal dan sebelumnya, mungkin para penonton bersemangat memberi dukungan. Bila memang ada, tetapi bentuk dukungan yang sama tidak muncul di pertandingan puncak, maka rasanya tetap sama. Sepi.

Semoga tahun depan pemain keenam IPH bisa lebih sangar lagi. Karena di Honda DBL, satu tim bukan hanya beranggotakan 12 pemain yang berlaga di lapangan saja. Tetapi satu sekolah. Mereka termasuk teman-teman semuanya. Termasuk para guru dan orang tua siswa.

Bukankah itu yang membuat semua sekolah selalu antusias mengikuti Honda DBL? Ini bukan kompetisi basket. Ini kompetisi antarsekolah!(*)

Komentar