IBL

"Yang paling banyak menit bermainnya saat Stapac menang melawan Satria Muda (Seri 4 Solo) adalah petugas lap lapangan." Begitu kurang lebih komentar salah seorang netizen di unggahan instagram @mainbasket bergambar Wayne Bradford yang terkapar.

Tanggal 12 Januari, di Seri 4 Solo, Stapac menang 85-78 atas Satria Muda. Namun laga antarmereka jauh dari kata memuaskan. Beberapa kali para pemain terjatuh karena selip atau terpeleset. Wasit Haryanto Sutaryo sampai menghentikan laga dua kali karena licinnya lapangan.

Sekali atau yang pertama saat Kevin Yonas "menari" dan terjatuh, lalu bangun dan “menari” lagi kemudian terjatuh lagi di bawah ring Stapac. Padahal Kevin sedang tidak bersinggungan dengan pemain lain.

Wasit kembali meniup peluit sambil menunjuk dirinya sebagai pengaju time out ketika berulang kali para pemain Stapac terjatuh di dalam lingkaran tembakan gratis pertahanan Satria Muda. Ya, lapangan Sritex Arena Solo malam itu licin sekali.

“Anda tahu saya. Saya tidak bisa main di lapangan seperti itu. Kami kalah, tapi saya bersyukur semua pemain bisa keluar lapangan dengan sehat, tak ada yang cedera,” kata Wayne Bradford sebelumnya, seusai laga Pelita Jaya melawan Bogor Siliwangi. Bradford hanya mencetak 17 poin, dan Pelita Jaya kalah 58-67.

Sial bagi Bradford, malah dia yang kemudian meninggalkan lapangan dalam kondisi cedera saat timnya menghadapi Bima Perkasa sehari kemudian.

Memang harus diteliti lebih seksama apakah Bradford jatuh kemudian cedera karena lapangan licin atau tidak. Jangan-jangan Bradford memang tidak mendarat dengan baik. Bisa karena lapangan licin, atau lainnya. Atau, benturan dengan lawan di udara membuatnya hilang keseimbangan dan jatuh dalam posisi jelek.

Menduga bahwa Bradford terjatuh karena lapangan licin pun rasanya sah-sah saja. Bisa karena tolakan lompatannya yang tidak menggigit sebelum lepas landas, atau pendaratannya goyah karena kakinya bergeser ketika bertemu lantai lapangan yang licin. Terlebih, pemain terpeleset di area jatuhnya Bradford terjadi beberapa kali.

Saya rutin menyaksikan NBL Indonesia di Solo dari tahun 2010 sampai 2015. Pada tahun 2014, Seri Solo dibatalkan. Kota Solo diselimuti abu Gunung Kelud yang meletus. Warga Solo mengenakan masker. Abu vulkanik sangat berbahaya kalau masuk paru-paru. Begitu kata kabar waktu itu.

Selama empat kali pergelaran NBL Indonesia di Sritex Arena Solo, saya tidak pernah melihat ada kejadian seperti Seri 4 IBL 2018-2019 ini. Seingat saya, semuanya lancar-lancar saja. Tak pernah ada banyak pemain terpeleset dalam satu waktu karena lapangannya licin. Ini membuat saya bertanya, kenapa ini terjadi sekarang.

Ada yang bilang karena lapangannya baru dicat dan dipoles ulang. Saya tidak tahu apakah ini memang penyebabnya. Hal yang pasti, lantai lapangan Sritex Arena memang baru dicat dan dipoles ulang. Pada Turnamen Gojek IBL 2018 bulan Oktober lalu, warnanya belum biru-kuning seperti saat ini.

Sritex Arena tidak sendirian. Saya pernah melihat laga-laga besar IBL di C-Tra Arena Bandung di mana para pemainnya harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menjaga keseimbangan karena terpeleset. Hal serupa juga terjadi di GOR Kertajaya Surabaya.

Pada salah satu laga ABL musim lalu (2017-2018), senter-forwarda Hong Kong Eastern Christian Standhardinger pernah kesal dengan GOR Kertajaya. Ia mengatakan bahwa ia tidak mengeluarkan semua kemampuannya saat itu karena lapangan sangat licin. Mirip seperti yang dikatakan Wayne Bradford terhadap Sritex Arena.

Kondisi lapangan licin pada ketiga GOR atau arena itu seingat saya terjadi ketika di luar sedang hujan atau gerimis. Ada yang mencoba melempar teori bahwa suasana panas di dalam dan dingin di luar arena membuat lapangan menjadi berembun. Saya tidak tahu apakah ini benar atau tidak. Saya anggap, “Ya, boleh jadi.”

Adakah solusi untuk lapangan licin ini? Pada hari terakhir di Solo, atau saat gelaran IBL All-Star, salah satu staf panitia penyelenggara optimistis bahwa lapangan hari itu tidak akan licin. Mereka sudah menemukan cairan semprot yang membuat lapangan tidak akan licin. Entah cairan itu berfungsi atau tidak, saya tidak bisa mengingat dengan baik kalau ada pemain yang terpeleset di laga IBL All-Star. Mungkin ada yang saya tidak ingat. Atau memang cairan itu ampuh.

Solusi lain yang terdengar lucu tapi pernah dilakukan untuk mengatasi lapangan licin adalah, “Siram dengan Coca-Cola!” Begitu kata anak-anak basket yang sepertinya sudah berpengalaman dengan ini. Saya ingat, panitia penyelenggara IBL (lama) pernah melakukan ini di C-Tra Arena Bandung. Lapangan diciprati Coca-Cola agar tak licin. Hmm.. Saya tak ingat apakah cara ini juga berfungsi dengan baik atau tidak.

Cara lain yang dilakukan oleh panitia di ketiga tempat tersebut adalah tak berhenti melap lapangan. “Sediakan banyak handuk atau kain yang menyerap basah dengan baik. Karena kalau kainnya tak diganti, ya aneh saja melap lapangan basah dengan kain basah. Hahaha..” Kata salah seorang panitia penyelenggara yang pernah saya ajak bicara.

Ada pertanyaan atau komentar lain yang juga dominan di unggahan yang berbicara tentang lapangan licin ini. Mereka mengatakan kenapa panitia tidak memeriksa lapangan sebelumnya atau kenapa laga di Solo tidak dipindahkan saja ke tempat lain.

Jawabannya, menurut saya, adalah mahal. Tentu saja, panitia IBL memeriksa kelayakan GOR-nya. Namun kemudian memindahkan atau membatalkan satu penyelenggaraan Seri untuk menggantinya dengan penyelenggaraan lain berarti menghadirkan biaya baru di luar anggaran yang sudah direncanakan.

Biaya tersebut tak hanya memengaruhi panitia saja, tetapi juga para tim peserta. Jadi, ketika panitia dan tim bertemu di Solo dan –katanya- membahas tentang lapangan yang licin, saya tidak kaget kalau mereka memutuskan untuk tetap main dengan kondisi lapangan yang ada, berhati-hati saat bermain, sambil dicari solusi tercepatnya. Kalau pula setiap kejadian lapangan licin membuat laga harus dipindah, maka entah berapa pembengkakan biaya (tak) terduga yang harus dikeluarkan.

Dari beberapa solusi atas lapangan licin yang ada, saya mengimpikan solusi lain. Saya bermimpi pemerintah turun tangan. Tak perlu membangun GOR baru (walau kalau mau bikin GOR baru juga saya setuju), cukup benahi yang sudah ada.

Pada GOR-GOR yang ada, akan keren kalau pemerintah membantu memasang pengatur suhu udara alias AC di sana. Mengondisikan GOR-nya agar sesuai syarat gedung yang dipasangi AC. Kemudian, gratiskan listriknya. Yup, gratiskan listriknya. Dinginnya AC diharapkan bisa membuat lapangan tidak berembun dan tidak licin lagi.

Boleh saja tak selalu gratis, tapi pada kegiatan-kegiatan besar yang melibatkan banyak orang seperti IBL, Proliga (liga bola voli), turnamen bulu tangkis, dan lain-lain, sebaiknya gratis. Ini akan sangat meringankan panitia penyelenggara, sekaligus membahagiakan penonton karena ruangan GOR jadi adem.

Beberapa arena di NBA pembangunannya dibantu oleh pemerintah. Begitu juga renovasi maupun peningkatan kualitasnya. Golden 1 Center, rumah baru Sacramento Kings dan merupakan salah satu arena tercanggih di NBA saat ini mendapat bantuan pemerintah dalam pembangunannya. Begitu juga beberapa arena NBA lainnya. Walau, juga tidak semua arena NBA mendapat bantuan pemerintah. Rumah baru Golden State Warriors yang akan berfungsi tahun ini di San Francisco katanya tak mendapat bantuan pemerintah.

Sebenarnya, di Indonesia sudah berjalan seperti ini. GOR Kertajaya Surabaya adalah milik pemerintah. Kemudian dikelola Yayasan CLS. Pun halnya Hall Basket Senayan. Namun C-Tra Arena, GOR Pacific Caesar, dan DBL Arena adalah milik swasta.

Dengan digunakannya arena-arena yang sudah ada sebagai tempat kompetisi berbagai macam olahraga, rasanya ada baiknya pemerintah kembali memberi dukungan seperti impian saya di atas. Bentuk dukungan tersebut sedikit banyak akan berpengaruh bagi meningkatnya pertisipasi dan prestasi dunia olahraga kita, khususnya bola basket.

Bagaimana pemerintah, mau?(*)

Foto: Hariyanto

Komentar