IBL

Senin, 13 Agustus 2018, bisa jadi hari yang bersejarah bagi koran The New York Post. Untuk pertama kalinya seluruh eksemplar media cetak New York itu habis dalam 3 jam. Hal itu disebabkan karena Supreme memasang logo persegi merah yang jadi ciri khasnya di halaman depan. Para kolektor pernak-pernik Supreme pun sontak memburunya.

Cerita perburuan hasil kolaborasi surat kabar dengan streetwear itu disampaikan The New York Times di situs mereka. Jonah Engel Bromwich menjabarkan hasil wawancaranya dengan Sheikh Ali, penjaja Koran di 41st Street, New York. “Ada seorang pemuda yang membeli seluruh Koran The New York Post di toko saya,” kata Ali. Ia menuruti permintaan pemuda itu dengan menyerahkan 50 eksemplar. “Dia meminta lebih banyak namun hanya itu yang saya punya,” lanjutnya.

“Kami menduga edisi ini akan diburu para kolektor,” ujar Jesse Angelo, penanggung jawab The New York Post. Muncul beberapa alasan mengapa ia menyetujui untuk bekerja sama dengan merek buatan James Jebbia tersebut. “Semua mengenal Supreme dan kebetulan kami mempunyai beberapa persamaan. Sebut saja desain logo yang atraktif, cara penyajian yang gamblang, serta sama-sama dari Kota New York,” tuturnya.

Tumpukan The New York Post edisi 13 Agustus 2018 di salah satu kios sebelum di serbu pembeli.

 

Pada umumnya, koran The New York Post mulai diperjualbelikan pukul enam pagi seharga AS$ 1. Khusus edisi Supreme, melalui situsnya,  koran milik Ruppert Murdoch itu menyebutkan bahwa seluruh persediaan habis pada pukul 7.30 pagi. Selang satu jam, beredar penjual tangan kedua (reseller) yang menjajakannya di situs jual beli Grailed seharga AS$ 10-12. Esoknya, sebagian penjual menaikkan harganya menjadi AS$ 100 di situs jual beli eBay.

“Supreme adalah merek streetwear yang sangat terkenal (hype). Segala sesuatu yang dibubuhi logo Supreme selalu menguntungkan untuk dijual kembali,” pungkas Edward Haynes, 21 tahun, kepada Olivia Bensimon pewarta The New York Post. Haynes bercerita berangkat dari rumahnya sejak pukul 5.30 pagi demi membeli 146 eksemplar dari 10 toko berbeda. Ia lalu menjualnya kembali seharga AS$ 8-10. "Beberapa kios tidak mau persediaannya saya beli karena ada oknum yang membayarnya AS$ 20 agar tidak dijual ke siapapun," tutup Haynes.

 

Kejadian ini mungkin yang pertama bagi pihak The New York Post. Namun, bagi Supreme, hal ini sudah lazim terjadi. Supreme didirikan pada 1994 sebagai toko yang menjual perlengkapan dan aksesoris skateboard dari berbagai merek seperti Zoo York, Spitfire dan majalah Thrasher. Popularitas Supreme meningkat ketika James Jebbia membuat sendiri kaos Supreme Logo Box dan memberikannya pada skateboarder jalanan. Semakin banyak ia memberi sampel kaos, semakin banyak orang-orang yang menyadari keberadaan Supreme. Mulailah ia Jebbia kebanjiran pesanan kaos, jaket sweater, dan jaket hoodie hingga akhirnya merilis pelbagai koleksi baju bertema streetwear.

Mereka pun  kerap berkolaborasi dengan pihak lain, tidak hanya dari ranah skateboard. Kolaborasi terbesar yang pernah dilakukan Supreme terjadi pada 2017 ketika mereka merilis koleksi bersama rumah busana mewah Louis Vuitton. Mereka bahkan merilis peti mati yang diharga AS$ 69.000 (sekitar Rp 966.000.000 dengan nilai AS$ 1 = Rp 14.000). Setiap tahun, lini busana yang berpusat di kawasan Lafayette, New York, ini empat kali merilis koleksi. Uniknya, hampir seluruhnya ludes terjual ke pembeli di seluruh dunia.

Demam Supreme juga merambah ke Indonesia setelah anak-anak mudanya menjadikan streetwear Amerika Serikat sebagai kiblat bergaya hasil mencari tahu di media sosial. Sayangnya, tidak sedikit diantara mereka yang menggunakan produk palsu demi meraih gelar hype layaknya pengguna pernak-pernik Supreme lainnya di dunia.

Foto: The New York Post, Hypebeast

Komentar