Beberapa organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) mengajukan petisi kepada NBA untuk mengakhiri kemitraan dengan Emirates. Saat ini, maskapai Emirates milik pemerintah Dubai untuk turnamen musim reguler liga, Emirates NBA Cup. Sebagai dugaan awal, adanya tuduhan "sportswashing", dan dikaitkan dengan Krisis di Sudan.

Sportswashing adalah praktik yang dilakukan oleh pemerintah atau organisasi yang mendukung olahraga atau menyelenggarakan acara olahraga untuk meningkatkan reputasinya. Istilah ini dipopulerkan oleh kampanye "Sport for Rights" pada tahun 2015.

Setelah bertahun-tahun melakukan perencanaan strategis, NBA mengembangkan turnamen di tengah musim untuk membangkitkan antusiasme di antara para penggemar menjelang pertandingan-pertandingan besar Natal dan membuat keseluruhan musim maraton 82 pertandingan lebih relevan bagi para penonton. Turnamen ini tidak disponsori pada edisi pertamanya di tahun 2023, tetapi kemudian dinamai sesuai dengan maskapai penerbangan internasional Emirates selama dua musim terakhir.

UEA ingin memproyeksikan citra modern dan menginvestasikan banyak uang untuk membangun merek tersebut sementara menghadapi tuduhan keterlibatan dalam kekejaman di Sudan, kata Jeremy Konyndyk, presiden Refugees International, organisasi yang memimpin petisi "Speak Out On Sudan" bekerja sama dengan kelompok dan pemimpin Sudan.

"NBA membiarkan dirinya digunakan sebagai pion untuk mengalihkan perhatian orang dari apa yang dilakukan UEA di dunia. Kemitraan ini bukan tanpa maksud jahat, ini adalah pencucian citra melalui olahraga dan menyembunyikan penderitaan jutaan rakyat Sudan di balik sebuah trofi," demikian bunyi petisi "Speak Out On Sudan", yang disponsori bersama oleh 14 organisasi lainnya, di situs webnya.

Sementara itu, Uni Emirat Arab (UEA) telah berulang kali membantah bahwa mereka memainkan peran apa pun dalam perang saudara Sudan, khususnya tuduhan bahwa mereka memberikan dukungan militer, keuangan, dan logistik kepada Pasukan Pendukung Cepat (RSF) paramiliter, yang telah dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan oleh sejumlah organisasi hak asasi manusia.

Selama hampir tiga tahun, Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan paramiliter RSF telah bersaing sengit memperebutkan wilayah. Pada Januari tahun ini, Amerika Serikat menuduh milisi RSF melakukan genosida. Kemudian, dalam sebuah kasus di Mahkamah Internasional, pelaksana tugas menteri kehakiman Sudan, Muawia Osman, menuduh bahwa RSF mendapat "dukungan dan keterlibatan" dari Uni Emirat Arab (UEA).

UEA telah berulang kali dituduh memasok senjata ke RSF. UEA dengan keras membantah tuduhan tersebut, meskipun panel ahli yang ditunjuk oleh Dewan Keamanan PBB tahun lalu mengatakan bahwa tuduhan itu "kredibel."

Kampanye untuk mendesak NBA agar menghentikan kemitraan dengan UEA dimulai pada tahun 2024 ketika Emirates pertama kali menandatangani perjanjian tersebut. Refugees International menulis surat kepada komisaris NBA Adam Silver beserta wakil komisaris Mark Tatum untuk menyampaikan kekhawatiran mereka tentang hak asasi manusia terkait kemitraan tersebut.

Dalam sebuah surat, Tatum mengatakan bahwa NBA percaya kemitraannya, "sesat dengan misi NBA untuk menginspirasi dan menghubungkan orang-orang di mana pun melalui permainan bola basket."

Karena tidak ada tindakan yang diambil atas permintaan ini, berbagai organisasi terus mengajukan petisi kepada NBA dan kini berharap dapat menyebarkan kesadaran tentang tujuan mereka.

"Kami mengajukan banding ke pengadilan opini publik," kata Mutasim Ali, seorang penyintas genosida Darfur dan penasihat hukum di Pusat Hak Asasi Manusia Raoul Wallenberg. "Para pemain harus prihatin, para penggemar harus prihatin." (tor)

Foto: raptorshq.com

Komentar