IBL

Perubahan adalah keniscayaan, dan di zaman modern malah terjadi relatif cepat. Ketika rivalitas Bill Russell dengan Wilt Chamberlain selesai, saat itu mungkin orang memandang bahwa era baru telah memulai dirinya. Ya, dominasi di NBA tidak lagi hanya milik big man atau orang-orang tinggi. Kemunculan Michael Jordan adalah salah satu penanda era baru itu, dan ia seorang guard (small man).

Jika Michael Jordan muncul dengan fenomenal saat itu, maka Isaiah Thomas adalah anomali. Dengan tinggi 1,75 meter, Thomas pelan-pelan diakui sebagai fenomena NBA saat ini. Lihat saja, dengan tinggi segitu ia masih bisa bertahan dan mengalami perkembangan yang hebat. Perubahan sekali lagi menunjukkan kepastiannya.

Suatu kali pada sebuah tayangan video di The Players’ Tribune, ia mencurahkan keresahannya. Pengakuan bahwa ia terlalu kecil dan tidak mendapat kepercayaan menjadi kisah yang selalu ada di sekitarnya. “Saya bagus, tapi tidak terlalu bagus,” katanya mengulang anggapan umum.

Berada di tengah-tengah anggapan negatif terhadap “orang kecil”, kata Thomas lagi, mungkin orang akan menyerah begitu saja. Akan tetapi, hal itu justru tak menyurutkan semangatnya untuk bermain basket. Ia ingin menunjukkan bahwa ia bisa bersaing dengan siapa pun.

“Kamu tidak perlu menjadi stereotip,” kata Thomas masih dalam tayangan tadi. “Kamu bisa mematahkan semua rintangan dengan percaya kepada diri sendiri dan menyimpan kakimu berpijak dan biarkan semuanya terjadi.”

Namun, nyatanya dunia tak sebaik yang dipikirkan. Dunia itu semakin jahat, dan orang-orang harus semakin kuat. Dalam sisi ini Thomas benar-benar paham, stereotip yang dipasangkan kepada pemain sepertinya di masyarakat dunia tidak membunuh mimpi jika ia terus percaya. Ia hanya mesti berusaha dan terus bermimpi sampai mimpi itu menjadi kenyataan. Seperti juga dikatakan Tan Malaka: terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk. Kita perlu membentur diri supaya terbentuk juga mimpi-mimpi kita.

Dicintai Penggemar Boston

Bagi Isaiah Thomas, mungkin, pengalaman pertamanya bermain bersama Boston Celtics setelah ditukar dari Phoenix Suns tidak terlalu baik. Akan tetapi, tidak menurut penggemar, dan Staples Center menjadi saksinya. Mereka menyukainya walau saat itu ia dikeluarkan karena mendapat dua kali technical foul. Lucunya, Thomas tidak langsung percaya kalau mereka benar menyukainya.

Kemudian hari berlalu, bermain pertama kali di markas besar Celtics di TD Garden, Boston, Amerika Serikat, saat itu Thomas baru percaya bahwa penggemar menyukainya. Main dari bangku cadangan, ia mendapat sambutan hangat dari penonton. Para penggemar berdiri memberikan tepuk tangan penyemangat untuknya. Sebuah apresiasi untuk orang sekecil itu, tapi tentu dengan hati yang lebih besar dari siapa pun.

Di musim pertamanya itu, ia kemudian menjadi salah satu tulang punggung tim. Ia rata-rata mencetak 19 poin dan 5,4 asis. Padahal ia bermain dari bangku cadangan dari total 21 laga pertamanya di Celtics. Raihan itu kemudian cukup untuk membuatnya menjadi pilihan utama di musim selanjutnya. Ia telah tumbuh dan terbentuk sebagai sesuatu yang hebat.

“Isaiah, dengan caramu bermain basket, kamu bisa menjadi seorang legenda Celtics,” ujar Thomas menirukan Danny Ainge, manajer Celtics.

Berikut perbandingan statistik Thomas per 3 Maret 2017:

1490078523609

Sumber: basketball-referrence.com

 

Thomas di Mata Pemain Lain

“Bola basket adalah permainan orang-orang besar.”

Begitulah kata Jamal Crawford, guard L.A Clippers ketika membuka suaranya tentang Isaiah Thomas di The Players’ Tribune. Akan tetapi, ia tahu bahwa sahabatnya itu sebuah anomali. Thomas adalah sesuatu yang spesial. Lebih jauh ia mengatakan bahwa Thomas layak menjadi All-Star.

“Ketika kamu sekecil itu, kamu biasanya tersingkir dari NBA,” kata Crawford lebih jauh. “Kadang-kadang pemain-pemain kecil bertahan dan beberapa mungkin memiliki karir yang panjang, tapi mereka tidak bisa melakukannya setingkat Isaiah.”

Tidak hanya Crawford, menurut Jason Terry, guard Milwaukee Bucks, Thomas memang pantas berada di deretan All-Star. Ia seperti seorang Mighty Mouse. Energinya menular, dan membuatnya dihormati rekan-rekan setim. Terry tahu betul bagaimana menghargai seorang pekerja keras. “Betapa sulitnya membawa tim untuk konsisten, malam demi malam,” kata Terry.

Seperti Saudara Kandung

Hubungan Isaiah Thomas dengan Jamal Crawford rupanya bukan hanya sebagai pesaing di lapangan. Lebih dari itu, mereka sudah seperti saudara. Suatu kali Thomas menceritakan sedikit tentang mereka di Instagram-nya @isaiahthomas. Baginya, Crawford seperti seorang kakak yang pernah membimbingnya ketika beranjak remaja.

Pertama kali bertemu saat Thomas berusia 16 tahun, ia menjadi dekat dan lekat dengan Crawford. Ia sering menginap di rumah Crawford sepanjang musim panas untuk bermain satu lawan satu di halaman belakang. Ia juga pernah sengaja datang dari sekolahnya di Connecticut ke New York (perjalanan 98 mil ditempuh sekitar 2-3 jam dengan kereta) hanya demi menonton Crawford berlaga. Saat itu Crawford masih bermain bersama New York Knicks.

1490080272194

Sumber: Instagram @isaiahthomas

 

Sampai pada akhirnya Thomas berhasil masuk ke NBA, impian mulai jadi kenyataan. Telah banyak waktu mereka lalui bersama. Pelajaran demi pelajaran telah menjadi sesuatu yang berhaga dalam hidup mereka.

Kini keduanya bisa bertarung satu sama lain di lapang megah NBA. Thomas benar-benar tumbuh menyusul kehebatan “kakak”-nya itu. Benar-benar sebuah anomali pematah stereotip. Dan dari kisahnya, kita mendapat petikan belajar untuk membangun mimpi sendiri tanpa terlalu memusingkan anggapan di luar sana.

Momen kita adalah milik kita.

Gambar: clutchpoints.com

Komentar