IBL

“When I designed the shoe, I didn’t design it with the intent of making it a hyped thing. I just wanted to make a dope thing that’s timeless"

– Desainer Nike SB Dunk Low “Staple Pigeon” 2005

 

Berbicara tentang sejarah, maka tak banyak sneaker yang terpatri di skema yang serba dinamis ini. Hal itu menjadi lumrah ketika pamor sebuah sneaker yang awalnya berharga tinggi, lambat laun kehilangan perhatian karena rilisan baru dari merek-merek dunia. Itulah mengapa hanya sedikit di antara puluhan ribu sneaker yang ada di dunia mampu dikenang selamanya.

Di skema ini, saya penganut azas history over hype (sejarah lebih penting daripada tren). Mengapa? Karena tak semua barang hype mampu mencetak sejarah, sementara sepatu yang tercatat dalam sejarah akan selalu diingat. Anda tak perlu sependapat dengan saya, yang terpenting adalah bagaimana Anda mengekspresikan diri lewat sneaker kesukaan Anda, sneaker orisinal tentunya.

Walau jumlah sneaker bersejarah itu langka, ada di antara sekian jumlah itu yang bersejarah dan juga hype. Saya angkat topi pada sosok Jeff Staple. Desainer plontos ini, secara tak sengaja, berhasil membuat sepatu yang bersejarah dan masih bernilai tinggi hingga kini.

Apakah Anda ingat kericuhan yang terjadi ketika perilisan Nike SB Dunk Low “Staple Pigeon” 2005 silam? Sepatu ini punya sejarah panjang dalam skema sneaker walau perilisannya terjadi 13 tahun lalu.

“Banyak yang berargumen bahwa sneaker ini adalah sneaker yang membuat skema ini diperhatikan oleh publik,” kata Jeff Staple kepada Medium. “Malam itu, seorang perempuan tua yang tinggal di Central Park barat melihat kericuhan itu dan berkata ‘Mengapa penduduk itu antri sebegitu panjang lalu ricuh hanya karena sepatu?’”

Kericuhan itu terjadi di Reed Space, tempat perilisan sneaker ini sekaligus studio kerja Jeff Staple. Melibatkan antrian yang mencapai ratusan orang lebih sementara stoknya tak lebih dari 50 pasang. Antrian telah memanjang empat hari sebelum perilisan.

“Hari itu sedang terjadi badai salju di New York. Calon pembeli itu tak gentar, mereka bahkan mendirikan tenda berjajar cukup panjang. Mereka telah di sana selama empat hari demi sneaker ini, lalu di hari keempat datang NYPD (Kepolisian Kota New York) yang hendak membubarkan antrian karena dianggap mengganggu kenyamanan warga lain. Maka terjadilah kericuhan itu. Entah mengapa, saya merasa bersalah,” cerita Jeff Staple.

Faktanya, NYPD kewalahan dengan tekad calon pembeli itu. Hingga akhirnya, mereka memanggil tim SWAT untuk membantu membubarkan antrian. Sementara calon pembeli itu tetap bertahan dengan golok dan tongkat baseball. Tak ada nomor antrian, tak ada lotre, tak ada pendaftaran, atau sistem antrian modern lainnya. Sistem perilisan sneaker waktu itu hanya menggunakan azas “first come, first serve”. Wajar bila akhirnya calon pembeli itu mengantri hingga membangun tenda sampai empat hari melawan dinginnya badai salju yang turun.

Kericuhan ini berdampak panjang akibat dari kemarahan serta ketertarikan berlebih itu. Untuk pertama kalinya, media menyorot lebih jauh hobi yang cenderung fantastis ini. Setelah kejadian ini, muncul pula media-media yang menyorot skema ini seperti Complex dan Hypebeast. Lebih jauh, sistem penjualan dan perilisan produk terbatas diperbaiki sedemikian rupa oleh Nike agar kericuhan semacam ini tidak terulang lagi. Bahkan, The New York Post menjadikan kericuhan ini sebagai berita utama Koran yang terbit keesokan harinya.

Saat rilis, sepatu ini dijual seharga AS$32,50 dan dibuat hanya 150 pasang. Kini, harga sepatu ini mencapai AS$8000 di pasar sekunder.

 

Sebelum kejadian ini, kultur sneaker berjalan dibawah tanah dan cenderung diam. Tak banyak hingar-bingar yang ditampakkan. Jeff Staple menceritakan juga seorang banker yang beralih menjadi kolektor sneaker setelah kejadian itu. “Mereka bilang bahwa dulu, cerutu dan anggur (wine) adalah benda terbaik. Namun kini, mereka menemukan benda berharga lain selain itu, benda itu adalah sneaker,” pungkasnya.

Sejatinya, ini bukan kali pertama Jeff Staple mendesain sepatu untuk Nike. “Saya lupa ini kali ke berapa Nike mengajak saya, antara tujuh atau delapan. Konsep dari sepatu ini adalah untuk membuat sepatu yang menggambarkan ciri khas New York. Maka, jadilah sepatu itu,” ungkap Jeff.

Lebih lanjut, tak ada niatan apapun untuk membuat sepatu itu menjadi setenar ini. Ia hanya ingin membuat sepatu yang tak lekang oleh waktu. “Kala itu, saya mendapati sepatu yang punya nilai seni tinggi. Nilai itu terlalu tinggi hingga terlalu sayang untuk digunakan. (Nike SB Dunk Low) Pigeon ingin Anda justru menggunakannya setiap hari dengan bangga,” imbuhnya.

Nike SB Dunk Low “Staple Pigeon” adalah sepatu yang hasil kolaborasi Nike dengan desainer Jeff Ng, yang kemudian terkenal dengan nama Jeff Staple. Sepatu itu terinspirasi besar dari burung merpati liar yang biasa ditemui di sekitar Manhattan, New York. Warna sepatu itu dibuat serupa dengan warna bulu merpati itu. Sementara warna merah muda jadi warna khas Jeff Staple dalam membuat desain busana. Kini, cerita kericuhan itu akan jadi bagian dari perjalanan panjang kultur dan skema sneaker.

Rekaman pribadi Jeff Staple mengenai liputan kericuhan yang terjadi ketika perilisan Nike SB Dunk Low Staple Pigeon. Video ini diunggah di akun YouTube pribadinya.

Liputan khusus Complex memperingati 10 tahun kericuhan ini. Melibatkan Jeff Staple, Editor Complex, beberapa pengantri, saksi mata, dan pensiunan NYPD yang kala itu bertugas mengamankan antrian.

GQ menunjukkan bagaimana situasi di dalam Reed Space, tempat perilisan NIke SB Dunk Low "Staple Pigeon", ketika kericuhan terjadi

Reka adegan kericuhan dalam format kartun.

 

Sumber Foto: Sneaker History, Flight Club, Straatosphere

Komentar