IBL

"Dengan membuat ulang sneaker ikonik dengan cara produksi Hender Scheme, kami ingin Anda mengetahui perbedaan besar dari benda buatan tangan dan pabrik."

–Ryo Kashiwazaki, pendiri Hender Scheme dan seorang Shokunin.

 

Jepang adalah negara dengan beragam budaya. Di sana lahir seniman dengan beragam cipta karya memukau. Seiring perkembangan teknologi, seniman-seniman itu mampu menunjukkan karya mereka di mata internasional. Seniman itu pun kini mendapat tempat di belahan dunia karena karya mereka yang mengagumkan.

Bidang seni yang ditekuni jumlahnya beragam. Namun, saya akan coba mengulas seniman Jepang yang telah mendapatkan tempat tersendiri di dunia sneaker atas hasil karya yang mengagumkan. Pria itu bernama Ryo Kashiwazaki. Sebuah nama yang asing memang. Namun, bila saya menyebut Hender Scheme, maka para penggiat sneakers akan terbuka ingatannya.

Hender Scheme adalah sebuah merek yang berangkat dari kearifan lokal seni olah kulit Jepang. Sebelum mendirikan rumah produksi ini, Kashiwazaki adalah seorang karyawan di sanggar reparasi sepatu kulit. Tahun 2010, ia memutuskan untuk keluar dan membuat sendiri kesenian kulit itu sesuai dengan kreativitasnya sendiri.

Nama “Hender Scheme” diambil dari teori yang dicetuskan psikolog Sandra Bem, gender schema (skema gender). “Produk kami mencerminkan tidak adanya pemisah antara laki-laki dan perempuan,” kata Kashiwazaki kepada Hypebeast.

Merek ini masih berumur 8 tahun. Umur yang tergolong muda bila disandingkan dengan merek lain di bidang sneaker dan seni olah kulit, sebut saja Visvim, Horween dan Common Projects. Apalagi ketenarannya telah mencapai kota fesyen dunia, Paris, Perancis. Hender Scheme telah mendapatkan tempat sebagai penyuplai pernak-pernik kulit berkualitas tinggi, terutama sneaker. “Kami ingin setiap calon pembeli meluangkan waktu untuk memeriksa setiap detail yang telah kami kerjakan. Kebiasaan ini sering sekali diabaikan oleh mereka,” kata Kashiwazaki.

Omong-omong, hanya kalangan tertentu saja yang boleh menggunakan gelar Shokunin di Jepang. Secara spesifik, seseorang akan diberi label Shokunin bila telah menguasai suatu bidang keahlian yang digeluti. Mereka yang mendapat gelar Shokunin berarti telah membuktikan ketekunan dan dedikasinya di bidang itu.

 

Berkutat dengan kulit sapi, kulit babi dan suede, Hender Scheme memproduksi produknya dengan rancangan yang sangat memperhatikan detail. Setiap proses yang dilakukan membutuhkan keahlian dan ketelitian tinggi. Proses panjang itu berdampak pada umur daya guna barang yang panjang.

Mereka telah mendapat tempat di hati para penikmat produk buatan tangan. varian produknya pun unik dan beragam. Mulai dari reinterpretasi eklektik bola sepak, rantai kunci sepeda, sandal hingga segala benda yang biasa kita temui. Di antara semuanya, produk yang paling diminati adalah replika sneaker ikonik berwarna pink yang terbuat dari kulit.

 

Hender Scheme membuat replika sneaker tersebut dengan bahan terbaik yang mereka punya. Mereka menggunakan kulit berkualitas tinggi serta sol dari kayu. Semua proses dilakuan tanpa menggunakan mesin. Mereka menjanjikan daya guna barang itu akan jauh lebih panjang dari sneaker aslinya.

Saya pernah memegang salah satu produk mereka, yaitu Hender Scheme for Nike Air Presto. Ya, sepatu yang direka ulang oleh Virgil Abloh itu jadi bahan penggarapan produksi Kashiwazaki dan tim pada 2014. Sungguh mengagumkan, bau kulit yang khas, lem yang terbuat dari bahan-bahan alami, serta jahitan yang sangat rapi untuk sebuah mahakarya buatan tangan. Saya tercengang ketika mengetahui sol bawah dengan bagian atas sepatu tak hanya direkatkan dengan lem, tapi juga dipaku. Sebuah cara tradisional nan efektif yang biasa dilakukan pengrajin sepatu boots di era Perang Dunia I.

 

Awalnya saya kurang memahami alasan Kashiwazaki disebut sebagai seorang Shokunin di bidangnya. Saya bisa menemukan para pengrajin sepatu di dunia. Apalagi harganya tergolong mahal. Mereka mematok harga hingga AS$1000 harga per pasang.

Hingga pada suatu saat, saya membaca artikel hasil wawancara Jason Dike dari Highsnobiety dengannya di gerai kecil di Paris, Perancis. Ada salah satu argumen pria eksentrik ini yang membuat saya menemukan jawabannya. Kurang lebih seperti ini:

“Tentu saya pernah dihubungi pihak-pihak yang produknya kami buatkan replika. Mereka menawarkan kerja sama untuk membuatnya secara masal. Jelas jawaban saya adalah tidak. Bukan seperti itu cara mengerjakan sebuah karya seni. Bila saya memproduksi terlalu banyak, saya takut kualitasnya tidak memenuhi standar Hender Scheme. Ide proyek seni ini adalah untuk mereproduksi produk industri secara manual untuk menunjukkan tampilan yang berbeda.”

Ia menyebut produk yang dihasilkan Hender Scheme adalah sebuah karya seni. Sebuah karya seni dihasilkan dari proses yang panjang serta sangat memperhatikan detail. Semua itu dilakukannya sendiri dibantu beberapa orang berpengalaman di bidang ini. Filosofi itu jadi jawaban mengapa gelar Shokunin layak tersemat padanya.

 

Bahan dasar kulit tersebut diproses terlebih dahulu selama delapan bulan hingga menghasilkan tekstur terbaik. Setiap pasang menghabiskan waktu hingga tiga bulan sebelum diletakkan di rak penjualan.

Bila Anda ingin mencari produk Hender Scheme selain berbahan kulit, hal tersebut tidak akan mungkin terjadi. Setidaknya, itu yang disampaikan Kashiwazaki kepada Hasse Lemola dari Hypebeast pada 2016 lalu. “Kami hanya memproduksi semua yang berbahan dasar kulit. Karena kami punya keahlian di sana, kami tahu apa yang kami kerjakan,” pungkasnya. “Tak ada maksud apapun untuk memasuki kultur sneaker. Yang kami lakukan hanya mengerjakan apa yang jadi keahlian kami.”

Hender Scheme mengawali kiprahnya di sebuah ruang kerja kecil di distrik Asakusa, Jepang. Kini mereka menempati sebuah ruang kerja lebih besar di Tokyo. Di sana mereka mengerjakan semua proses produksi. Ekspansi mereka menuju Paris terjadi tiga tahun lalu ketika mereka membuka sebuah toko kecil. Sejak itu, permintaan pembelian meningkat hingga 50 persen.

Sumber: Highsnobiety, Hypebeast, Intellegence Magazine

Komentar