IBL

Nama Lewis Alcindor semakin terkenal ketika ia memutuskan kuliah di University of California Los Angeles, Amerika Serikat. Hal itu terjadi karena saat bermain dengan UCLA di kompetisi setingkat mahasiswa ia tampil trengginas. Padahal ia baru berstatus mahasiswa tingkat pertama.

Dalam 17 pertandingan, Alcindor tampil dominan di posisinya, membawa timnya menjadi unggulan di NCAA. Selama itu pula ia mencetak rata-rata 33,7 poin dan 21 rebound. Perolehan gemilang itu menjadi salah satu alasan timnya menang di semua pertandingan pertamanya dengan margin 50-70 poin. Para pelatih tim lawan pun menyebutnya kombinasi Wilt Chamberlain dan Bill Russell.

Selama tiga tahun, Alcindor berhasil membawa timnya memenangkan 88 pertandingan dengan hanya kalah dua kali: satu dari University of Houston dan satu lagi dari University of Southern California. Namun, itu bukan satu-satunya kegemilangan yang pernah ia torehkan ketika menjadi mahasiswa. Sederet prestasi individu dan tim telah memenuhi lemarinya.

 

Suatu ketika pada 1967, NCAA berusaha menekan dominasi Alcindor dengan mengubah aturan. Mereka melarang pemain melakukan dunk di pertandingan. Sehingga hal itu disebut sebagai Lew Alcindor Rule.

Perubahan aturan itu pun lantas membuatnya sejajar dengan Wilt Chamberlain dan Bill Russell yang lebih dulu menjadi pengubah aturan. Dominasi Chamberlain membuat basket mesti membuat aturan tiga detik sementara Russell membuat basket harus menerapkan aturan goaltending. Ketiganya pun sama-sama tidak ambil pusing.

“Tembakan yang harusnya saya dunk,” ujar Alcindor kepada Los Angeles Times pada 2006 (saat itu namanya sudah Kareem Abdul-Jabbar), “saya buat menjadi layup dan terus mendominasi dengan segala cara lain yang saya bisa. Mereka mengira mereka bisa mengambil senjata saya. Mereka tidak mengambil apapun dari saya.”

 

Benar saja apa kata Alcindor. Meski NCAA mengubah aturan, ia masih tetap dominan. Bahkan larangan dunk itu membuatnya memiliki senjata baru yang menjadi ciri khasnya—sky hook. Belum lagi gelar-gelar berikutnya yang bikin orang geleng-geleng kepala. Setidaknya selama ia berkarir di basket kampus, ia merengkuh gelar Player of the Year (1967 dan 1969), First Team All-American (1967-1969), juara NCAA (1967-1969), dan masih banyak lagi.

Dengan gelar-gelar yang disebutkan di atas, sekilas rasanya karir Alcindor begitu gemilang. Namun, ada saja ruam dalam hidupnya. Ia mengalami luka di kornea matanya dua kali sehingga dokter memintanya menggunakan kacamata (google glass) selama bertanding.

Pada 1968, kehidupan Alcindor berubah drastis. Ia yang dulunya seorang umat Kristiani, kini memutuskan memeluk Islam. Ia mengucapkan dua kalimat syahadat dan resmi menjadi umat muslim. Ia pun mengganti namanya menjadi Kareem Abdul-Jabbar, tetapi belum dipublikasikan sebelum 1971.

Kehidupannya memang berubah, tetapi Alcindor tetaplah dirinya. Ia semakin baik dalam olahraga permainan itu sehingga tim nasional Amerika Serikat meliriknya. Mereka ingin ia ikut ke Olimpiade 1968, tetapi ia tak mau. Ia menolaknya sebagai salah satu aksi protes terhadap pemerintah AS soal isu-isu rasial.      

Hidup pun berlalu. Alcindor kemudian menyelesaikan kuliahnya dengan gelar sarjana. Di masa senggangnya, ia belajar ilmu bela diri. Ia belajar Jet Kune Do dibawah asuhan Bruce Lee. Ia bahkan sempat tampil bersama gurunya di film “Game of Death”.  

Baca juga: Lahirnya Ferdinand Lewis Alcindor Jr. (Kisah Kareem Abdul-Jabbar, 1/4)

Foto: BeatsLoop

Komentar