IBL

Saya turut merasa sedih untuk Chris Paul, yang pernah jadi "teman kuliah" beberapa tahun lalu di Harvard Executive Education. Setelah 16 tahun di NBA, di usia 36 tahun, dia belum berhasil jadi juara. Phoenix Suns kandas di final, dalam seri best-of-seven kalah 2-4 dari Milwaukee Bucks.

Di sisi lain, dalam proses enam pertandingan itu, saya tumbuh mengapresiasi Milwaukee Bucks. Kotanya. Masyarakatnya. Timnya. Dan tentu para pemainnya. Khususnya tiga bintangnya: Giannis Antetokounmpo, Khris Middleton, dan Jrue Holiday.

Seluruh kombinasi itu harus menempuh "the hard way" (jalan yang susah) untuk menuju kebahagiaan ini. Semua harus berproses, melewati kelokan tajam, tanjakan terjal, serta kekecewaan untuk bisa sampai ke sini. Di era di mana klub-klub olahraga berebut bikin "superteam" dan "sultan-sultanan," Bucks menunjukkan kalau cara klasik tetap lebih baik, tetap lebih memuaskan. Karena mereka percaya itulah "cara yang benar."

Bahkan sekarang, usai Bucks jadi juara NBA, para pengamat top pun bilang memang inilah cara yang semestinya...

Bicara kotanya dulu.

Milwaukee sebenarnya terkenal. Di kota inilah Harley-Davidson dibuat. Tapi merek motor itu sudah tidak lagi "keren" di Amerika. Apalagi di era di mana masa depan akan lebih ramah lingkungan dan roda dua bermesin bukan lagi opsi menarik bagi masyarakatnya.

Milwaukee juga sebenarnya dikenal dengan birnya. Tapi, ini pun bukan sesuatu yang modern.

Milwaukee, seperti kebanyakan kota "tanggung" di tengah daratan Amerika, pun harus berjuang keras untuk menemukan identitasnya. Menemukan masa depannya. Supaya warganya tetap bisa berkembang, tidak pergi ke kota lain yang lebih menjanjikan.

Asal tahu, sekarang kota berpenduduk 1,5 juta orang itu jadi terkenal di seluruh dunia. Karena Milwaukee Bucks baru saja jadi juara NBA. Kali pertama dalam 50 tahun!

Sekarang bicara timnya.

Tim-tim profesional seperti Bucks, yang berlokasi di kota "tanggung" dan jauh dari glamor, akan selalu kesulitan mendapatkan superstar. Walau mungkin gaji bisa sama, tapi para bintang lebih memilih untuk berada di kota-kota yang lebih besar dan atraktif. Yang dekat pantai, yang punya industri film, yang punya banyak opportunity bisnis lain di luar jadi pemain.

NBA memang lebih adil. Untuk jadi pemainnya harus melewati proses draft. Tim-tim papan bawah memilih duluan. Ini memberi peluang mereka untuk berkembang lewat proses. Karena superstar masa depan harus lewat mereka duluan. Sistem ini tentu tidak sempurna. Karena setelah "masa kerja awal empat tahun," para pemain itu bisa memilih hengkang ke klub lebih besar.

Tidak semua klub pintar memilih pemain. Tidak semua sanggup "membina" para calon superstar itu. Tapi kalau berhasil, ujungnya bisa superistimewa. Contoh: Michael Jordan di Chicago Bulls, Hakeem Olajuwon di Houston Rockets. Tentu, lebih banyak gagalnya.

Milwaukee Bucks termasuk yang harus sukses lewat proses ini. Para superstar tidak pernah berminat ke sana. Kalau pun ditawari, ditanggapi saja mungkin tidak.

Untuk mencapai juara NBA 2021 ini, prosesnya mereka mulai lebih dari delapan tahun lalu...

Dalam NBA Drart 2013, Bucks memilih di urutan 15. Karena posisi mereka waktu itu tanggung di papan tengah. Jadi, di atas kertas, para "calon bintang" sudah habis di sepuluh pertama.

Bucks waktu itu mau berpikir jangka panjang. Mereka memilih anak muda kurus tinggi panjang asal Yunani, keturunan Nigeria. Namanya Giannis (baca: Yannis) Antetokounmpo (baca: terserah). Umur 18 tahun, dari keluarga miskin sekali.

"Delapan setengah tahun lalu, ketika saya baru masuk liga ini, saya tidak tahu bisa dapat makan dari mana. Ibu saya masih berjualan di pinggir jalan," kenang Giannis usai jadi juara.

Bucks pun dengan sabar membina Giannis. Memberinya gizi yang baik. Membentuk badannya, mengembangkan segala aspek skill-nya. Lalu bertahap mengelilinginya dengan pasukan yang cocok.

Hanya dalam empat tahun, Giannis jadi NBA All-Star. Dalam beberapa tahun terakhir, dia dua kali jadi Most Valuable Player (MVP) di liga. Dia juga jadi MVP di laga All-Star. Dan sekarang, dia juga jadi MVP final NBA. Dalam sejarah NBA, hanya ada satu pemain lain yang seperti itu. Namanya Michael Jordan...

Tapi, prosesnya tentu melewati roller coaster. Bucks masuk barisan elite, tapi tak kunjung masuk final. Giannis makin elite, tapi sambil jalan kelemahan-kelemahannya makin disoroti. Mereka tidak peduli. Jalan terus pantang mundur.

Kemudian ada cobaan pada 2020 lalu. Bukan hanya pandemi. Tapi juga status kontrak Giannis. Tim-tim lain menggoda, mencoba merebutnya dari Milwaukee, menempatkannya di kota-kota lebih "seksi" yang bisa memberinya status dan peluang lebih glamor.

Pada akhirnya, tidak ada drama. Giannis tetap memilih Milwaukee. Ya, kontraknya nilai maksimal sesuai aturan NBA. Yaitu USD 228 juta untuk lima tahun (hingga 2025). Giannis mungkin bisa dapat lebih kalau pindah ke kota seperti Los Angeles atau New York (bukan dari kontrak, tapi dari peluang lain). Tidak. Dia tetap di Bucks.

Buat Bucks, ini tentu tidak perlu dipikir. Kalau seorang pemain memang "difference maker," sudah teruji kemampuan dan karakternya, perpanjangan berapa pun bukan masalah. Yang sulit kan kalau pemainnya sebenarnya tidak istimewa, belum tentu bisa membawa jadi juara, tapi maunya macam-macam dan mintanya banyak!

"(Anda, Bucks) mengambil risiko besar dengan memilih kami delapan tahun lalu. Sekarang, sulit dipercaya saya bisa meneken perpanjangan ini. Tapi ini semua adalah hasil kerja keras. Ini adalah rumah saya. Saya akan terus bekerja keras dan memberikan yang terbaik untuk membanggakan Bucks, para fans, dan kota ini," ucap Giannis waktu itu. 

Pada akhirnya, Giannis dan Bucks jadi juara NBA. Dan dia melakukannya dengan tim yang pertama membesarkannya. Bahkan bersama Khris Middleton, yang juga sudah delapan tahun berjuang bersamanya. Middleton ini juga cerita perjuangan menarik, tapi silakan cari sendiri kisahnya. Jrue Holiday juga cerita menarik, seseorang yang tidak banyak cingcong dan gaya. Ceritanya bisa cari sendiri juga (istrinya, Lauren, adalah legenda sepak bola Amerika).

Begitu jadi juara, segala ucapan Giannis penuh rasa syukur. Penuh rasa apresiasi terhadap Milwaukee, terhadap Bucks, terhadap seluruh "keluarganya" di sana.

"Saya ingin berterima kasih kepada Milwaukee karena selalu percaya pada saya. Saya percaya pada tim ini. Saya ingin melakukan ini di kota ini, bersama teman-teman ini. Saya senang sekali kami akhirnya bisa menuntaskan tantangan ini," ujarnya dalam jumpa pers usai final.

Giannis lantas menegaskan, bahwa dia mungkin bisa lebih "enak" kalau bergabung ke tim lain. Tapi bukan itu yang dia cari. Dia bilang: "Akan mudah bagi saya untuk pindah ke tempat lain, menjadi juara bersama orang lain. Mudah sekali. Saya bisa pindah ke super team, bekerja sesuai tugas, lalu jadi juara. Tapi ini cara yang lebih sulit untuk melakukannya, dan kami berhasil melakukannya!"

Tentu saja, bukan jaminan Giannis dan Bucks akan jadi juara lagi. Tren superteam sudah telanjur terbentuk. Ada superteam di Los Angeles, di Brooklyn, dan yang lain ingin menyusul.

Sebenarnya, Bucks pun sekarang adalah sebuah superteam. Tapi, Bucks adalah superteam yang berproses dari awal. Membangun, bukan membeli. Dalam beberapa tahun terakhir, Bucks konsisten di papan atas, sementara banyak superteam justru naik turun dan pecah belah.

Bucks yakin, dengan membangun superteam lewat cara yang sulit ini, sukses akan lebih bisa didapat secara konsisten. Karena bukan hanya bakatnya yang bersatu, tapi juga karakternya. Ini cara yang sulit, cara yang penuh tantangan. Tapi inilah cara yang benar...(Azrul ananda)

 

CATATAN TAMBAHAN:

Bisa dibayangkan seperti apa pesta di Milwaukee begitu Bucks jadi juara. Bahkan sebenarnya, pestanya sudah dimulai beberapa minggu sebelumnya, saat Bucks berjuang menuju final.

Setiap kali pertandingan kandang, 17 ribu penonton memadati Fiserv Forum. Lalu di luarnya, dikawasan bernama "Deer District," puluhan ribu lagi nonton bareng di depan layar besar.

Kalau Bucks bertanding di luar kota, puluhan ribu itu tetap ramai nonton bareng di Deer District. Yang menakjubkan, tetap ada 9.000 penonton beli tiket untuk nonton bareng di dalam Fiserv Forum. Lewat layar empat sisi yang menggantung di tengah arena. Harga tiket nobar di dalam stadion ini murah untuk ukuran Amerika. Hanya USD 10 per orang.

Ketika game keenam final NBA, game yang bisa menentukan gelar juara Bucks, tentu jadi jauuuuh lebih heboh. Total 17 ribu “menghijaukan” Fiserv Forum, dengan tiket termurah lebih dari USD 1.000 (untuk nonton berdiri di ujung atas). Tiket di pinggir lapangan bisa lebih dari USD 20 ribu.

Di luar? Bersama pemerintah kota, Bucks menyiapkan "ruang" untuk total 65 ribu penggemar! Terbagi dalam beberapa kawasan di pusat kota, masing-masing kawasan disiapkan layar besar.

Bisnis-bisnis di sekitar juga aktif mendukung, menyiapkan fasilitas-fasilitas untuk para penggemar itu. Bagaimana pun, banyak orang ini juga baik untuk bisnis mereka!

Ya, tidak semuanya mulus. Ada kasus kerusuhan, bahkan penembakan yang mencederai tiga orang. Tapi secara umum, semuanya lancar dan bahagia luar biasa. Milwaukee benar-benar bersatu merayakan sukses bersama!

Bagi yang penasaran kok massa sebanyak itu boleh tanpa masker: Amerika tampaknya memang sudah mengalahkan pandemi... (*)

*artikel ini bisa dibaca juga di: https://www.happywednesday.id/r/207/juara-membangun-bukan-membeli

Komentar