IBL

Satria Muda Pertamina Jakarta tampil dominan di gim 1 Final IBL, Kamis, 3 Juni 2021, waktu setempat. Satria Muda mendikte jalannya pertandingan selepas Pelita Jaya Bakrie Jakarta sempat unggul 6-3. Ini adalah keunggulan terbesar Pelita Jaya sepanjang gim. Mengenai laporan pertandingan, Anda bisa membaca di sini.

Untuk saya sendiri, yang hadir di lapangan, ada beberapa hal yang menarik perhatian. Hal-hal tersebut yang akan saya bahas di sini. Sebelum melihat kembali tayangan pertandingan, saya memiliki beberapa poin dari gim ini. Hal pertama yang paling menarik perhatian saya adalah pendekatan (approach) kedua tim dalam memulai pertandingan.

Pelita Jaya adalah tim yang cukup monoton sepanjang musim. Sejak gim pertama di musim reguler sampai semifinal melawan Louvre Dewa United Surabaya, Pelita Jaya setia dengan konsep bertahan full court press. Mereka akan menjaga sejak garis pertahanan lawan. Seringnya dengan formasi 2 – 2 – 1 yang kadang juga diubah menjadi sebaliknya 1 – 2 – 2.

Di gim 1 final, Pelita Jaya tak langsung membuka permainan dengan konsep ini. Mereka menggunakan zone defense. Seusai gim, saya bertanya kepada Ocky Tamtelahitu, Kepala Pelatih Pelita Jaya, mengenai hal ini. Alasannya pun sederhana, ia tak ingin kecolongan di area kunci (paint area). Secara statistik musim reguler, Satria Muda adalah tim dengan total Point in the Paint (PIP) terbanyak kedua di liga dengan 634 poin. Tim dengan PIP tertinggi di musim reguler adalah Pelita Jaya sendiri dengan 668.

Namun, di mata saya, bukan ini tujuan utama Pelita Jaya. Saya rasa lebih ada niatan menantang Satria Muda menembak dari tripoin ketimbang hanya bertahan di area kunci. Hal ini pun masuk akal mengingat Satria Muda adalah tim dengan total percobaan tripoin terendah di musim reguler. Di dua gim melawan West Bandits Solo pun, Satria Muda hanya memiliki akurasi 29 persen (13/45).

Jujur saya sangat suka dengan pendekatan Pelita Jaya ini, “Just let Satria Muda shoot the ball from three.” Sayangnya, hal ini tidak dibarengi dengan koordinasi pertahanan yang apik. Hasilnya, tembakan-tembakan tripoin yang didapatkan pemain-pemain Satria Muda bersifat wide open atau uncontested (tanpa penjagaan). Seburuk-buruknya akurasi pemain, saat tidak ada penjagaan, maka lambat laun mereka akan menemukan sentuhannya.

Lebih buruk lagi, pemain yang terbebas adalah Juan Laurent Kokodiputra, Hardianus, dan Sandy Ibrahim Aziz, tiga penembak tripoin terbaik Satria Muda sepanjang musim reguler. Pelita Jaya cukup beruntung karena Sandy tak menemukan sentuhan terbaiknya (1/5). Di sisi lain, pemain Pelita Jaya justru beberapa kali terpancing dengan tipuan Arki Dikania Wisnu.

Ya, betul memang Arki memiliki akurasi tripoin di angka 40 persen di semifinal lalu. Namun, perlu dicatat, ia total hanya melepaskan lima percobaan. Sepanjang musim reguler pun, akurasi tripoin Arki adalah 32 persen tapi dari 2,1 percobaan. Artinya, Arki memang bisa sewaktu-waktu menembak dan memasukkan tripoin. Namun, Anda lebih baik melihatnya melakukan hal tersebut ketimbang masuk ke area kunci. Arki masih salah satu pemain yang tak terhentikan saat melakukan penetrasi.

Koordinasi (kemungkinan besar komunikasi) yang buruk dalam bertahan ditambah buruk dengan berantakannya serangan Pelita Jaya. Anda semua sudah membaca bahwa Pelita Jaya hanya memasukkan 1 dari 19 tripoin mereka (5 persen). Saat kita konversi keseluruhan tembakan mereka pada statistik lanjutan eFG%, Pelita Jaya hanya memiliki catatan 29 persen. Saya rasa (cukup percaya diri) tidak ada pertandingan di mana tim dengan eFG% 29 persen bisa menjadi pemenang, apalagi di level profesional.

Apa yang menjadi masalah dari serangan Pelita Jaya? Jika kita menjawab pertahanan Satria Muda cukup solid sebenarnya sah-sah saja. Satria Muda sendiri adalah tim dengan pertahanan terbaik di musim reguler, kapasitas mereka tak perlu diragukan lagi. Namun, sebaiknya Pelita Jaya bisa fokus terhadap hal-hal yang bisa mereka kontrol. Dalam hal ini adalah kualitas tembakan mereka.

Tembakan-tembakan yang mereka lepaskan benar-benar tak masuk akal. Mereka menembak seolah sedang diburu waktu, padahal mereka belum menghabiskan separuh dari jatah waktu menyerang mereka. Tanpa mengurangi rasa hormat atas kemampuan bertahan Satria Muda, buruknya pilihan tembakan Pelita Jaya terbukti dengan hanya satu kali 24 seconds violation. Itupun terjadi karena Agassi Goantara menembak sebelum 14 detik. Hasilnya, waktu tak diulang dan terus berjalan. Agassi menembak saat shot clock masih 20 detik.

Entah apa yang membuat Pelita Jaya menyerang dengan buru-buru. Memang Coach Ocky akan senang jika bisa memanfaatkan serangan saat Satria Muda dalam proses transisi. Namun, apa yang terjadi di lapangan para pemain terlihat cukup liar. Menerobos dengan liar, menembak sedapatnya bola, tidak dalam posisi terbaik.

Sekali lagi, ini hanyalah faktor yang bisa dikontrol oleh Pelita Jaya sendiri. Untuk faktor yang tak terkontrol, saya cukup senang melihat bagaimana para pemain Satria Muda aktif dalam mengganggu penetrasi pemain-pemain Pelita Jaya. Meski tak semuanya berujung steal, deflection/active hands para pemain Satria Muda cukup membuat Pelita Jaya semakin terburu-buru dalam menyerang.

Pelita Jaya sebenarnya masih cukup beruntung. Lihat catatan perbandingan tembakan gratis kedua tim. Pelita Jaya mendapatkan 20 kesempatan dan memasukkan 15 di antaranya. Satria Muda sendiri hanya mendapatkan enam tembakan gratis dan gagal satu kali. Secara rasio, maka Pelita Jaya memiliki FT Rate di angka 25 persen berbanding 7 persen dari Satria Muda. Hal ini juga berujung pada total 18 personal foul milik Satria Muda berbanding hanya 10 dari Pelita Jaya. Oh iya, Laurentius Steven Oei jadi satu-satunya pemain yang fouled out di gim ini.

“Tembakan gratis ini memang cukup aneh,” buka Arki ketika saya tanya pendapatnya usai gim. “Semua orang di liga tahu bahwa saya adalah pemain yang gemar melakukan penetrasi ke dalam. Kebanyakan juga akan memancing foul. Namun, hari ini, sepanjang gim, saya hanya mendapatkan satu kesempatan tembakan gratis. Sulit dipercaya,” imbuhnya.

Terakhir, ada masalah besar yang harus dipecahkan Pelita Jaya dalam waktu semalam yakni matchup problem. Di mata saya, matchup problem terbesar Pelita Jaya bukanlah Arki, melainkan Juan. Maksudnya, Arki jelas salah satu pemain yang paling sulit dihentikan di liga. Namun, ia jauh lebih berbahaya saat di dalam garis tripoin.

Juan, membuat perubahan besar terhadap gaya bermainnya musim ini. Jika sebelumnya lebih banyak beroperasi di area tripoin, Juan musim ini justru produktif di area kunci. Juan adalah pilihan personal saya untuk gelar Most Improved Player musim ini. Dengan menit bermain yang lebih sedikit dibanding musim lalu, Juan justru memiliki rataan yang seluruhnya meningkat.

Satu skill yang Juan sepertinya kembangkan di musim ini adalah kemampuannya menyelinap di area bawah ring (dunker spot). Dalam beberapa kesempatan, Juan terlihat mampu mengelabuhi pertahanan Pelita Jaya dengan gerakan yang sebenarnya tak eksplosif. Saya rasa hal ini terjadi karena pemain Pelita Jaya mengira Juan akan bertahan di area-area menembak tripoin terbaik (sudut dan sayap). Namun, ternyata ia menyelinap saat Arkia tau Hardianus melakukan penetrasi.

Juan menimbulkan matchup problem besar untuk Pelita Jaya. Jika satu lawan satu, Hardian Wicaksono lebih sering terlihat bertugas menjaga Juan. Namun, seperti yang sudah saya tulis, Juan cukup aktif dalam bergerak dan Wicak terlihat cukup kesulitan. Saat berpindah ke zone defense pun, pergerakan aktif Juan membuat Pelita Jaya seolah terkejut tiba-tiba dia di dunker spot, atau tiba-tiba ia di sudut tripoin.

Saya berharap final akan berlangsung tiga gim, supaya masyarakat Indonesia (termasuk saya) tetap ada tontonan menarik di akhir pekan ini. Jika diharuskan memilih, saya harap Pelita Jaya bisa memperbaiki koordinasi dan komunikasi mereka saat bertahan. Paling tidak. Semua pemain disiplin di posisi mereka saat melakukan zone defense. Saat berusaha memberi bantuan pun, pemain yang lain tetap awas mengisi posisi yang kosong. Semoga pertahanan yang lebih baik bisa mendorong shot selections yang lebih baik pula.

Jika Pelita Jaya berhasil menyamakan kedudukan, maka ini akan semakin menguatkan sejarah final IBL yang hampir selalu berujung dengan tiga gim. Satu-satunya final yang berakhir dalam dua gim terjadi pada 2018-2019 saat Stapac Jakarta menjadi juara. Sebaliknya, jika Satria Muda menutupnya dalam dua gim, maka ia membalas kontan kekalahan atas Stapac di 2019 dan bersanding bersama sebagai juara sapu bersih.

Statistik musim reguler: Didik Hariyadi/ @basketballstatistic

Foto: Ariya Kurniawan dan Hariyanto

 

Komentar