IBL

Andrie “Yayan” Ekayana sudah bukan seorang pemain lagi sekarang. Ia memutuskan pensiun dan jadi pelatih. Yayan ingin menurunkan ilmu dan pengalamannya kepada generasi-generasi muda.

Bekas bintang tim nasional Indonesia itu kini menangani SMA Kolese St. Yusup (Kosayu) Malang. Ia memimpin tim sekolahnya bertanding melawan SMAN 8 Malang dalam gelaran Honda DBL East Java Series 2019-South Region di GOR Bimasakti, Malang, Rabu 18 September 2019.

Sayangnya, Kosayu kalah dari SMAN 8 Malang. Kekalahan itu menjadi pelajaran berharga bagi Yayan. Ia sadar bahwa menjadi pelatih bukanlah tugas yang mudah. Menjadi pelatih adalah tantangan.

Setelah pertandingan itu, kami bertemu di ruang ganti. Saya mewawancarainya tentang berbagai hal. Fokusnya tentu saja tentang Honda DBL 2019. Namun, saya sempat menyinggung soal masalah bola basket nasional juga.

Komentarnya dulu untuk pertandingan hari ini. Sayang banget tidak bisa menang.

Iya, memang sayang banget kami tidak bisa lolos ke fase selanjutnya. Cuma saya bangga sama pemain saya karena mereka sudah mengeluarkan semua kemampuan terbaiknya. Yang paling penting, mereka menjalankan gameplan dan semua instruksi saya dengan bagus. Jadi, apa yang mereka mainkan hari ini itu sesuai dengan apa yang saya latih, apa yang saya minta, dan apa yang saya instruksikan.

Kalau evaluasinya?

Kalahnya? Lawannya lebih tenang saja. Saya menilai tim lawan sama kuat dengan kami, tetapi mereka lebih kompak.

Yang bikin kami kalah adalah mereka lebih tenang. Lihat eksekusinya. Mereka lebih tenang.

Seperti yang saya bilang, mereka sama kuat, tetapi kompak. Jadi, ini salah saya sebagai pelatih. Tidak bisa bikin pemainnya tenang. Padahal pemain sudah menunjukkan permainan yang bagus.

Mas Yayan sendiri sudah berapa lama menangani tim ini?

Enam bulan. Lima bulan lebih.

Berarti ini baru pertama kali ikut Honda DBL?

Iya, ini pengalaman pertama. Masih baru. Newbie. Noob. Hahahaha.

Setelah enam bulan ini, apa suka-duka menangani tim sekolah di Honda DBL?

Karena DBL ini liga bola basket yang gede. Semua mata—entah itu anak-anak, pemain, orang tua, guru—tertuju ke sini. Bahkan, orang-orang basket yang tidak punya anak, yang tidak satu sekolah pun pada nonton. Jadi, memang pressure-nya lebih gede.

Ini jadi pengalaman berharga di tahun pertama saya. Menangani tim sebesar Kosayu, ternyata saya gagal. Itu benar-benar sesuatu yang harus saya syukur, tapi harus jadi bahan evaluasi juga.

Maksudnya gagal apa, ya?

Tahun kemarin Kosayu sampai ke Surabaya. Big Four, ya? Tahun ini saya gagal membawa mereka ke sana. Jadi, tahun ini saya tidak bisa membuat mereka lebih baik. Walaupun materi pemainnya beda, seharusnya peluang itu ada.

Saya belum bisa ambil. Saya belum bisa. Itu jika patokannya hasil. Saya juga merasa belum bisa membuat pemain saya mengerti saya 100 persen sampai pertandingan hari ini.

Karena masih baru atau apa?

Itu mungkin karena cara penyampaian saya. Mungkin pendekatannya. Itu yang paling penting. Saya terlalu banyak menggambarkan teknis, nonteknisnya masih kurang. Jadi, saya merasa pemain saya bisa, ternyata mereka tidak bisa. Saya anggap mereka bisa. Karena begitu saya gambar, mereka bisa. Ternyata tidak bisa. Ini mungkin penyampian saya yang kurang. Kurang bisa dipahami anak-anak. Jadi, salah pelatih. Bukan salah mereka.

Selama enam bulan ini ngapain? Terus kenapa pilih Kosayu dari sekian banyak sekolah di Malang?

Ya, kami latihan saja.

Saya ke sini karena pelatih yang lama itu teman saya. Pelatih yang lama itu Charlie (Awih), mantan pemainnya Pacific, itu pergi. Dia menawari saya buat bergabung, saya terima.

Selama enam bulan yang dikerjakan banyak. Karena mengubah kultur. Cara main. Saya ubah duluan.

Terus terang, saya bilang ke anak-anak, “Kemampuan individu sekaligus skill kalian tidak sebagus kakak-kakak kalian.” Yang sudah lulus. Yang ke Surabaya tahun kemarin. Kalau mereka main gradak-gruduk, mereka tidak akan menang. Kami harus lebih pintar. Lebih smart dengan keterbatasan fisik dan skill.

Nah, kami kalah karena SMA 8 bermain di fasenya dia di momen-momen akhir. Kami tidak bisa lebih smart. Saya akui, kalau mereka bermain gradak-gruduk ketika kami begini, saya kalah. Mereka lebih siap. Karena mereka mainnya begitu.

Saya berusaha mengubah kultur itu. Tahan sampai satu, dua, tiga, begitu empat setengah tidak tahan. Plan B tidak jalan.

Setelah pensiun dan jadi pelatih, seperti apa rasanya?

Tantangan baru, sih. Ngasih tahu orang yang belum mengerti jadi mengerti; yang mengerti jadi lebih paham lagi; yang bisa jadi ahli. Itu ternyata tidak gampang juga. Order yang menurut saya gampang, ternyata anak-anak tidak bisa. Ada perubahan sedikit, tidak bisa. Ternyata tidak mudah.

Tantangan besarnya bukan soal teknis, tetapi nonteknis. Cara penyampaian dan komunikasi harus dipelajari juga.

Selama ini belajar dari mana, terutama soal nonteknis tadi?

Masukan dari teman-teman juga banyak. Cuma masukan dari yang bukan pelatih malah lebih masuk. Maksudnya, teman saya ada yang seorang guru, kasih tahu saya harus begini loh, begini loh, ini caranya. Itu masuk.

Ke teman-teman pelatih juga saya tanya. Memang kurang maksimal di situ. Cara komunikasi yang belum bagus. Padahal saya sudah kasih teknik, IQ, basketball knowledge. Mereka sudah tahu cara mengambil keputusan, tetapi mungkin cara komunikasi salah. Mungkin saya butuh bahasa yang lebih sederhana dan mudah diterima.

Kalau berbicara perkembangan, anak-anak ini bisa berkembang sejauh mana seandainya melihat potensi mereka saat ini?

Beberapa masih kelas satu dan kelas dua, tahun depan masih bisa main. Itu sebabnya—sebenarnya saya tidak mau mengomentari tim lawan—tapi saya tidak tahu apakah dengan mereka yang seperti itu akan tahan lama setelah SMA. Soalnya mainnya gradak-gruduk. Menurut saya begitu. Menurut saya pribadi.

Maka dari itu, untuk anak-anak kelas tiga, saya membekali pemain saya dengan basketball IQ. Mereka tidak bisa bermain gradak-gruduk terus. Lawannya tambah jago. Mereka, kan, terbiasa bermain brak-bruk-brak-bruk. Dan, mereka nyaman dengan itu. Saya justru berusaha mengubah itu. Saya bekali dengan basketball knowledge. Supaya tahu saat ini harus apa, saat itu harus apa. Begitu ketemu lawan yang lebih jago, mereka tahu mau apa. Itu bekal mereka untuk ke depannya.

Kalau kelas satu-kelas dua, seandainya saya masih di sekolah ini, tentu akan saya kasih materi yang lebih banyak lagi.

Itu termasuk manajemen diri tidak? Misalnya habis latihan kita harus istirahat berapa lama, harus makan apa, dan lain sebagainya.

Oh iya, itu saya perhatikan. Walaupun saya belum expert dalam hal itu. Kami ada pelatih fisik. Saya tanya, rest-nya harus bagaimana. Loading apa yang harus dimasukkan. Protein, kah? Atau lebih banyak karbo hari ini?

Saya belajar dari pelatih fisik. Dia sekolah. Lulusan sekolah olahraga. Punya sertifikat kepelatihan fisik. Jadi, saya percaya sama dia.

Sekarang, kan, Mas lagi fokus di kompetisi tingkat sekolah. Masih memperhatikan liga-liga di atas tidak? Entah itu IBL atau apa pun.

Saya tidak mau komentar banyak. Soalnya saya tidak tahu arahnya akan ke mana. Kalau memang semua fokus di 2023, dan kita start dari sekarang, semoga Perbasi dan promotor dengan segala strateginya berhasil. Semoga tidak salah langkah. Ini jadi kontroversi sebenarnya. Saya tidak juga. Kalau memang ingin begitu, semoga tepat. Karena 2023 masih jauh. Empat tahun.

Cuma perlu evaluasi rutin. Apakah program yang dijalankan sesuai target. Misalnya, fasenya ada empat tahun; Enam bulan pertama begini jalannya, latihannya begini, pemain asing begini—ini dan itu, cocok tidak semuanya? Kalau tidak ya evaluasi.

Pelatihnya, sih, bagus. Saya suka. Siapa itu? Coach Toro (Rajko Toroman). Itu bagus. Bagus banget. Saya melihat permainan timnas di Elang Cup itu bagus.

Saya masih menjalin kontak dengan beberapa pemain di timnas, yang dulu junior saya. Saya bicara sama dia, saya dapat informasi kalau pelatihnya memang bagus. Cuma, itu tadi, jalannya panjang. Evaluasinya harus terus jalan. Soalnya size, bro, size.

Tapi, saya masih pede kalau pelatihnya itu. Soalnya kalau kita tidak punya size, kita harus kuat. Kuat itu termasuk speed dan smart. Saya lihat mereka sudah lumayan dari sebelumnya.

Selain soal itu, CLS—tim lama Mas—juga tidak lanjut di ABL. Ada komentar?

Ah, itu kita tunggu saja mereka mau ngapain. Selentingan-selentingan itu, kan, selalu ada. Seandainya keluar ABL mau bikin liga sendiri antarklub ASEAN tanpa pemain asing, ya boleh. Wow malah kalau memang itu terjadi, ya bagus. Karena tim tanpa impor. Soalnya saya belum berpikir bahwa tim-tim ABL dari luar negeri itu menggunakan pemain aslinya.

Saya, sih, yakin kalau Ko Itop (Christopher Tanuwidjaja, Managing Partner CLS Knights Indonesia) melepas timnya, dia sudah menyiapkan sesuatu. Kalau memang benar-benar lepas, sudah ada dua orang gila basket yang hilang. Ko Kim Hong (Irawan Haryono, pemilik Stapac Jakarta) sama Ko Itop. Kita kehilangan gede.

Cuma, ya tidaklah, pasti Aspac (kini Stapac) bentar lagi balik. CLS pasti mau bikin sesuatu. Ya, walaupun saya tidak tahu. Hahahaha.

Harapannya untuk bola basket kita?

Pikirkan prestasi jangka panjang. Untuk pelatih, termasuk juga saya yang di level pembinaan. Develop pemain itu penting, tapi kita tidak bisa menang di satu-dua turnamen saja, di tingkat lokal saja. Tataplah ke depan. Siapkan pemain kita untuk level yang lebih baik lagi.

Misalnya, pemain saya sudah tidak lagi bersama saya, mereka sudah siap berkompetisi di level lebih tinggi, dengan pelatih siapa pun. Karena fenomenanya, sekarang pemain kalau sudah dilatih dari kecil oleh pelatih A, begitu ketemu pelatih lain malah tidak bisa main. Dia terlalu nyaman sama gaya mainnya. Begitu ketemu pelatih lain yang lebih jago, mereka malah tidak bisa mengikuti.

Itu, kan, akibat rencana jangka pendek saja. Pokok’e menang nang kene. Misalnya di Malang, pokok’e menang nang Malang. Begitu ke Surabaya remuk.

Pokok’e menang nang Suroboyo. Di Jatim menang, begitu ke level nasional, remuk. Yang begitu dihindari.

Memang tidak semua seperti itu, ada yang bagus juga. Apakah pendapat saya benar atau tidak, itu tidak tahu. Cuma, menurut saya, banyak pemain yang belum siap saat naik ke level berikutnya.

Itu saya lihat sekarang, tapi sudah saya rasakan juga saat saya jadi pemain. Junior saya datang, skill bagus dan lompatan tinggi, tapi basketball knowledge-nya tidak.

Siapa sekarang ruki yang main? Saya yakin mereka bukan tidak punya skill. Mereka cuma tidak biasa bermain dengan yang pintar-pintar, yang jago-jago.                    

Hahah, oke kalau begitu, pertanyaan cukup sampai di sini. Terima kasih, Mas Yayan.

Iya, sama-sama. Terima kasih, ya.

Foto: Ahmad Nur Aziz

Komentar