IBL

Ferdinand Nursalim, pemain SMA Kolese Gonzaga Jakarta, tampil beda daripada anak laki-laki di Honda DBL Camp 2018. Rambutnya panjang, sementara yang lain tentu saja pendek-pendek. Apalagi mereka masih duduk di bangku SMA. Sangat jarang menemukan anak SMA berambut panjang.

Ferdinand bahkan harus mengikat rambutnya ketika latihan di DBL Academy, Pakuwon Mall, Surabaya, Jawa Timur sepanjang 27-1 Desember 2018. Ia melakukan itu supaya rambut panjangnya tidak mengganggu pandangan. Namun, rambut panjang itu tumbuh bukan tanpa alasan.

Di Gonzaga, ada aturan unik tentang rambut panjang. Setiap siswa laki-laki yang ingin berambut panjang harus memiliki nilai bagus. Rata-rata nilainya harus 85. Maka, tidak sulit menebak seberapa pintarnya Ferdinand.

Mainbasket sempat mewawancarai Ferdinand di sela-sela latihannya. Pemain yang menyukai pelajaran matematika ini menjawab setiap pertanyaan dengan panjang-lebar.

Simak wawancara berikut:

Suka basket sejak kapan?

Saya suka basket pas kelas empat SD. Tapi, dulu awalnya main bola, main futsal. Terus, lihat Kakak main basket, pengen main basket juga. Pengen coba gitu.

Kebetulan, saya tidak terlalu menguasai. Akhirnya coba ekstrakurikuler basket pas kelas empat. Di situ sudah mulai asyik. Sekedar ekstrakurikuler, tidak buat macam-macam.

Sampai masuk SMP itu kelas tujuh. Kelas tujuh itu masih ikut-ikut. Sempat waktu itu langsung masuk tim A, tapi belum terlalu bisa main. Terus, disuruh ikut klub sama Pelatih. Waktu itu klub Merah Putih. Cuma anak-anak seumuran saya tidak ada. Jadi, cuma asal ikut.

Ikut latihan, terus di situ sudah mulai berkembang, berkembang, berkembang, habis itu pindah lagi, pindah klub. Pindah ke Buls. Nah, dari situ, kelas tujuh akhir itu mulai fokus ke basket. Sampai sekarang masih di Buls. Berkembang juga, sih, di Buls.

Terus waktu itu, kelas sembilan, tiba-tiba dapat panggilan dari tim Porprov Jakarta Selatan. Sudah main, main, main, masuk SMA. SMA langsung masuk tim A. Cuma waktu itu tim saya belum terlalu kuat. Cuma angkatan saya cukup kuat.

Waktu itu belum bisa masuk DBL. Kelas 10 belum bisa. Akhirnya, ya sudahlah, kami main di mana saja. Main cup, cup. Waktu itu sempat, kan, rekor dari Gonz itu juara satu di Gonz Fest baru tahun 2004 sama 2016 sama 2015. Nah, pas tahun lalu sebelum saya masuk, katanya Gonz gagal di pul. Cuma pas angkatan saya masuk, kami mulai membantu, bantu, bantu, bisa juara dua. Kalah sama (SMAN) 34 waktu itu.

Kenapa kamu main basket?

Basket itu kayak passion saya. Jadi, saya di rumah pun suka dribble-dribble kalau malam-malam. Di rumah tidak ada lapangan, jadi cuma dribble-dribble atau mantul tembok. Habis itu di sekolah main. Kadang kalau sudah stres belajar, mainnya basket. Basket terus.

Saya penasaran sama rambut kamu. Anak SMA, tapi kok rambut boleh gondrong?

Jadi, di Gonzaga itu kita boleh gondrong kalau (nilai) rata-rata di atas 85. Nah, awal itu, pas pertama belum gondrong, saya nothing to loose saja karena nilai saya pas-pasan. Awal itu, setengah semester rata-rata saya 81. Ya sudahlah, nothing to loose saja.

Saya basket tidak berhenti. Cuma mama saya bilang, “Kalau nilai kamu turun, jelek, basket Mama stop semua.” Dari situ saya tidak ingin stop main basket. Pengen main terus. Akhirnya belajar, belajar, belajar, terus latihan. Jadi, seimbang tuh. Akhirnya dapat 85.

Di situ dapat gondrong tuh. Akhirnya sudah boleh gondrong. 

Basket tetap?

Basket tetap lanjut. Semester dua pun tetap, belajar juga meski tetap keteteran. Cuma basket maju terus. Waktu itu, kan, sempat ada Kejurda atau apa, itu sempat terpotong waktu di Gonz. Cuma tetap belajar, belajar, akhirnya basket maju juga, nilainya maju jadi 86.

Kamu, kan, datang ke sini karena terpilih sebagai salah satu peserta kamp, apa sih yang kamu cari?

Pertama, saya ingin cari pengalaman. Soalnya kapan lagi bisa ke Surabaya, ke DBL Academy, disatukan di sini sama orang luar. Itu pengalaman yang tidak bakal saya lupakan. Misalnya—amin banget—bisa tembus ke Amerika.

Setelah dilatih pelatih WBA, seperti apa rasanya?

Pas latihan tadi pagi, kayak yang benar-benar sudah capek. Tidak kuat, deh. Habis yang gym itu, yang di ujung, itu kami benar-benar di-push banget. Lari jauh banget, push up segala. Pas masuk yang terakhir itu sudah mulai tidak fokus, cuma masih bisa mengimbangi. Pas awal-awal, sih, latihannya enak. Itu saya suka. Cuma pas sudah sampai gym—gym, kan, sudah terakhir—sudah capek. Habis itu dribble, defense, itu capek banget.

Sudah mulai terasa persaingannya?

Awal-awal terasa, pas tadi latihan pagi itu saya merasa, “Aduh tidak bisa, nih, kayak gini.” Memang, sih, saya sempat merasa lemas banget. Cuma pas saya main, “Wah, mereka keras.” Terus, tadi sempat istirahat, terus balik kan, itu saya sempat berpikir, “Bagaimana caranya, nih? Saya harus bermain lebih keras lagi.”

Pas masuk ke sesi kedua, saya sudah bisa mengimbangi. Dari yang tidak bisa poin, di situ saya sudah bisa poin banyak-banyak. Di situ saya sudah bisa mengimbangi merekalah.

Bertemu dengan orang sebanyak ini, apa yang kamu rasakan? Banyak rival tidak, sih?

Pas saya melihat mereka di awal, mereka itu kuat-kuat banget. Saya jadi pengen lebih kuat lagi. Pengen terus, pengen lebih jago daripada mereka. Cuma tetap tahu batas. Pengen lebih dari mereka. Kalau rival—rival yang satu orang gitu—saya belum terlalu ada. Cuma kalau buat main-main, adu-aduan gitu, itu ada. Ada yang dari Yogya, terus Arlan dari Bandung, Saddam dari Banten.

Setelah dari sini, terlepas kamu terpilih All-Star atau tidak, kamu mau apa?

Belajar dulu. Soalnya, kan, saya UAS tanggal 10, terus pas minggu depan itu saya masih ada ulangan susulan segala. Jadi, misalnya, terpilih All-Star atau tidak, saya syukuri. Kalaupun tidak, sudah pengalaman banget bisa ada di sini. Cuma pengen, sih, All-Star.

Habis dari sini belajar. Kalau bisa sempati juga belajar di sini kalau malam. Soalnya benar-benar mesti mengejar nilai kalau berpikir tentang sekolah. Terus, sudah itu pasti kasih tahu teman, mengajari apa yang saya pelajari di sini. Saya kasih tahu lagi. Karena teman-teman di Gonz itu mendukung semua. Support benar, support saya.

Saya penasaran, kamu pengen tidak menunjukkan kalau gondrong itu bukan berandalan?

Iya, seperti yang saya bilang tadi, gondrong di Gonz itu identitas bahwa saya punya kepribadian baik, nilai saya bagus. Saya gondrong karena nilai saya itu bagus. Bukan kayak orang-orang di luar yang asal gondrong. Saya pengen membuktikan kalau saya gondrong itu nilainya bagus. (GNP)

Foto: Affy Zulfikar

Komentar