IBL

Lini Jordan dari Nike baru saja mengumumkan perilisan edisi ke-33 Air Jordan. Sepatu basket terbaru ini menampilkan inovasi sistem temali bernama FastFit. Sistem temali tradisional diganti dengan kawat yang bisa diatur secara ergonomis nan efektif. Penggunaan sistem FastFit jadi realisasi permintaan Michael Jordan yang ingin sepatu basket dengan sistem temali baru. Walau digadang-gadang sebagai yang pertama, teknolosi temali semacam ini sejatinya sudah ada di ranah sneaker sejak lama.

Bukan Nike atau adidas, Puma adalah merek yang mecetuskannya pada 1991 Perusahaan milik Rudolf Dassler itu merilis sepatu lari bernama Puma Disc hasil temuan desainer mereka bernama Helmut Fischer. Ia terinspirasi dari cara mengikat sepatu pada papan salju (snowboard) ketika sedang berlibur ke kawasan Pegunungan Alpen Gembar-gembor slogan “Shoe that Change the Game” pun sudah digaungkan Puma kala itu.

Prototipe Puma Disc Blaze hanya dibuat 11 pasang yang dilanjutkan dengan perilisan 5000 pasang Puma Disc Blaze OG (“Original” atau warna pertama dari suatu edisi) ke pasaran).

Puma Disc Blaze.

Cara kerja kawat dan roda gigi pada Puma Disc. Konsep ini menginspirasi FootJoy dalam mendesain sistem temali BOA dan FasFit pada Air Jordan 33.

Konsep utama teknologi temali kawat yang diusung Air Jordan 33 hampir serupa dengan Puma Disc. Pada dasarnya, kita diberi akses untuk menali dan melonggarkan sepatu lebih cepat menggunakan gawai berupa kawat dan sebuah kuncian berbentuk roda gigi. Roda gigi inilah kunci utama teknologi Disc pada Puma serta FastFit pada Air Jordan 33 untuk merapatkan sepatu terhadap kaki.

Cara kerjanya pun cukup sederhana. Saat kita memutar roda gigi tersebut, ia akan menarik bagian samping sepatu kemudian menggulung kawat yang tersambung. Mereka juga menyediakan akses untuk melonggarkannya. Untuk Puma Disc, kita hanya menekan bagian atas gawai. Sedangkan bagi Air Jordan 33 adalah menarik tali berwarna kuning-hitam.

Tujuan dibuatnya teknologi ini sama dengan visi Michael Jordan dimana Helmut Fischer sudah memikirkannya 27 tahun lalu. Gawai ini diciptakan untuk menghemat waktu serta mempermudah pengguna dalam menali. Teknologi ini juga mempermudah menali dan melepas sepatu ketika cedera tangan. Faktor ergonomitas serta efektifitas jadi poin utama.

Kuotasi desainer Puma Disc Blaze tentang penemuannya. Infografis via Highsnobiety.

Puma tahun 1991 tetaplah Puma sama seperti saat Rudolf Dassler mendirikannya. Ranah atletik tetap jadi fokus utama. Mereka sudah membuat sepatu lari berpaku (spike) untuk atlet atletik di Olimpiade Barcelona 1992 dan Stuttgart World Championship. Atlet wanita Jerman bernama Heike Drechsler meraih emas cabang lompat jauh dengan menggunakan sepatu atletik berteknologi Disc pada Olimpiade. Colin Jackson menggunakan Puma Disc saat memecahkan rekor dunia lari 110 meter dalam 12.91 detik di Stuttgart. 

Puma Disc adalah sepatu pertama yang memperkenalkan temali kawat. Ini jadi titik balik sistem temali sepatu-sepatu olahraga modern. Alhasil, Nike pun ikut menggunakan kawat dalam inovasi mereka seperti Nike Air Mag dan sistem temali Electronic Adaptive Reactive Lacing atau E.A.R.L pada Nike Hyperadapt.

Meski tergolong apik dan jadi perbincangan hangat, publik kala itu belum bisa menerima teknologi Disc. Bisa jadi teknologi Disc datang terlalu dini. Setelah tiga tahun, Puma menghentikan produksi Puma Disc yang kurang laku di pasaran meski disayangkan sang desainer. Publik justru lebih menyukai Puma Suede dengan modifikasi diameter tali yang lebih besar seperti yang digunakan para pedansa jalanan (b-boy). Teknologi Disc pun tenggelam sejak itu.

Sepatu atletik Colin Jackson yang menerapkan sistem temali Puma Disc.

Teknologi semacam ini kemudian hadir di ranah sepatu golf pada 2006. Sepatu asal Amerika Serikat bernama FootJoy memperkenalkan sepatu bernama ReelFit yang menerapkan temali berbasis kawat layaknya Puma Disc. Oleh mereka, teknologi ini dinamai BOA. FootJoy menjanjikan kenyamanan menali sepatu golf lebih cepat dan rapat.

Meski berkonsep sama dengan Puma Disc, FootJoya memberi poin pembeda. FootJoy ReelFit menggunakan kawat lebih tipis dari Puma. Letak roda gigi pengikat ada di tumit sementara Puma Disc menempatkannya di punggung kaki. Merek sepatu golf kelas atas ini juga tidak menggunakan cangkang plastik layaknya sang pendahulu.

Setelah 12 tahun, Air Jordan 33 membawa inovasi ini ke ranah basket. Mereka menggaungkan teknologi ini sebagai inovasi mutakhir walau bukan mereka yang menemukannya. Teknologi temali berbasis kawat dan roda gigi sudah lama berada di ranah golf apalagi atletik. Prinsip ATM (Amati, Tiru, Modifikasi) benar-benar diterapkan desainer Air Jordan disini.

Foto: Nike, Arsip Puma, Uday Shanker via Stranger in Suede

Komentar