IBL

Dibandingkan musim lalu, gelaran NBA Draft musim ini jauh lebih semarak. Selain banyaknya talenta-talenta muda kelas wahid, ada pula upaya-upaya pertukaran pemain (trade) yang dilakukan oleh beberapa tim. Trade yang mereka lakukan pun tidak main-main. Los Angeles Lakers berani "mengorbankan" D’Angelo Russell untuk mempercantik tawaran mereka dalam upaya mengirim Timofey Mozgov dan kontrak besarnya ke Brooklyn Nets. Selain itu, Philadelphia 76ers juga bermanuver untuk mendatangkan Markelle Fultz dan mempercepat kampanye ‘Trust the Process" mereka melalui kesempatan memilih (pick) no. 1 Boston dengan menukar beberapa koleksi draft rights (hak memilih) mereka.

Dan teranyar, Chicago Bulls setuju untuk mengirim Jimmy Butler ke Minnesota dan ditukar dengan dua pemain muda; Kris Dunn dan Zach Lavine. Selain itu, Bulls juga menukar pick no. 16 mereka Justin Patton dengan pick no. 7 milik Timberwolves, Lauri Markkanen. Walau mendapatkan tiga pemain muda potensial, keputusan yang mereka (Bulls) buat di bursa draft tahun ini bisa dibilang adalah perjudian besar bagi kota berjuluk "Windy City" ini.

Sejak akhir abad ke-19, Kota Chicago mendapat julukan sebagai “Windy City” (kota berangin). Menurut beberapa pengamat, julukan ini dapat diartikan dalam dua hal. Pertama, kota Chicago memang secara harafiah adalah kota yang berangin karena banyaknya gedung-gedung pencakar langit dan juga letaknya yang berdekatan dengan danau Michigan sehingga angin akan gemar berhembus ke mana-mana. Kedua, kata "berangin" bisa juga dianalogikan sebagai akibat dari banyaknya bualan dan janji-janji politisi dan tingginya tensi politik di kota Chicago. Bukankah Chicago juga merupakan salah satu pusat operasi dari jaringan mafia Italia-Amerika yang sering disebut mobster itu? Chicago juga disebut sebagai salah satu kota yang paling berbahaya di Amerika Serikat karena tingginya kasus penembakan di kota tersebut. Setidaknya, 12 orang menjadi korban kasus penembakan di kota Chicago setiap harinya pada tahun 2016 silam.

Mungkin, terminologi berangin bisa dipadankan dengan situasi yang tidak menentu alias penuh ketidakmungkinan. Dalam kaitannya dengan Chicago Bulls, situasi berangin (lebih tepatnya, hujan lebat berangin disertai kabut tebal) kini jelas tengah hinggap di atas United Center, rumah Chicago Bulls. Setelah menendang Derrick Rose, yang merupakan MVP termuda sepanjang sejarah NBA, ke New York Knicks tahun lalu, kini Bulls kembali membuat orang mengerenyitkan dahi ketika mereka setuju untuk mengirim bintang utama mereka, Jimmy Butler, ke Minnesota Timbervolves. Trade ini membuat kita bertanya-tanya, lalu ke mana sekarang angin di kota Chicago Bulls akan berhembus?

Yang menjadi masalah dari trade antara Bulls dan Timberwolves adalah ketimpangan yang didapatkan di antara kedua belah pihak. Jimmy Butler adalah seorang juara Olimpiade 2016, peraih gelar NBA Most Improved Player 2015, dan juga telah terpilih tiga kali All-Star NBA. Kehadiran "Jimmy Buckets" di Timberwolves akan memberikan etos kepemimpinan sekaligus amunisi serangan baru karena tidak bisa dipungkiri, Butler adalah salah satu pemain "two-way" terbaik di liga saat ini.

Sementara itu, pengganti untuk Butler adalah Zach Lavine dan Kris Dunn. LaVine menunjukkan perkembangan yang signifikan di musim ini, terbukti dengan catatan poin per laganya yang mencapai angka 19. Sayang, ia kini tengah menjalani proses rehabilitasi cedera ACL yang ia dapatkan di bulan Februari silam. Cedera ACL bukanlah sekedar cedera biasa. Apalagi ketika pemain tersebut mengandalkan kelincahan (athleticism) sebagai kekuatan andalannya, akan sulit bagi mereka untuk tetap menjaga tingkat keberingasannya pasca cedera ACL. Jika perlu bukti, silakan lihat bagaimana Derrick Rose bermain saat ini dibandingkan dengan musim ketika ia meraih gelar MVP.

Lalu, Kris Dunn, pick ke-5 di NBA Draft musim kemarin, masih bermain angin-anginan dan bahkan belum bisa menggeser Ricky Rubio dari posisi point guard utama Timberwolves. Banyak yang mengira bahwa Kris Dunn akan lebih matang daripada pemain muda lainnya karena ia memiliki pengalaman bermain empat tahun di kompetisi NCAA. Namun, berkaca dari musim lalu, Kris Dunn tampaknya belum bisa memberi dampak yang signifikan terhadap Chicago Bulls musim ini. Apalagi, rotasi di posisi point guard pun juga cukup padat karena Bulls kini sudah memiliki Jerian Grant, Cameron Payne dan juga Michael Carter-Williams.

Grafik 1.jpg

Catatan Statistik Kris Dunn sebagai Rookie (2016-17) | via wikipedia.com

Padahal, dengan status kontrak Jimmy Butler yang belum memasuki masa expiring contract dan juga komitmen dari Butler sendiri untuk tetap bertahan di Chicago, manajemen seharusnya dapat mencarikan pengganti yang sepadan apabila mereka benar-benar ingin menggadaikan Butler untuk mencari masa depan yang lebih baik. Trade dengan Timberwolves ini pun terkesan dipengaruhi oleh kepanikan dan dilaksanakan dalam tempo negosiasi yang cukup singkat.

Entah apa yang melatarbelakangi kepanikan ini, jelas kini angin tengah mengarah ke fase rebuilding di kota Chicago. Upaya menukar Butler sebenarnya sudah digaungkan dari musim lalu dan baru akhirnya direalisasikan pada waktu ini. Tanpa ragu, manajemen Bulls pasti sadar bahwa Butler adalah pemain yang spesial, namun manajemen juga akhirnya menyadari bahwa Bulls di bawah komando Butler tidak akan mampu untuk mencapai impian mereka; menaruh banner juara NBA ke-tujuh dan seterusnya. Sehingga, menukar Butler menjadi cara yang paling baik ketimbang harus menunggu kontraknya habis dan kehilangan dirinya secara cuma-cuma. Itulah cara main di NBA, tidak semuanya melulu tentang basket, tapi sebuah pergumulan ide dan pandangan dari aspek basket, bisnis, organisasi, dan juga statistik.

Grafik 2.jpg

Tabel Informasi Salary Cap Chicago Bulls | Via hoopshype.com

Kepergian Jimmy Butler dari Chicago Bulls memberikan sedikit ruang di salary cap. Apalagi, jika Dwyane Wade mengubah pikirannya untuk menolak opsi kontrak player option dan memutuskan untuk bermain di tempat lain, maka Bulls akan memiliki keleluasaan cap space yang lebih banyak. Keberadaan cap space ini dapat menjadi titik awal upaya rebuilding Bulls. Namun pertanyaannya adalah, apakah Chicago Bulls saat ini masih menjadi franchise utama yang dibidik oleh para free-agent papan atas? Dengan kondisi susunan pemain dan peluang yang cukup kecil untuk menembus babak final, rasanya Chicago Bulls akan cukup kesulitan untuk menarik minat free agent ternama yang sedang gerah mencari cincin juara layaknya Chris Paul, Paul Millsap, Gordon Hayward dan lain-lainnya.

Secara garis besar, trade yang dilakukan manajemen Bulls tidak bisa secara langsung dinilai sebagai langkah yang buruk karena mereka bisa mendapatkan aset pemain muda yang cukup berpotensi dan juga ruang salary cap yang luas. Namun, di saat yang bersamaan, trade ini tidak akan membawa angin perubahan yang berarti bagi Chicago Bulls untuk beranjak ke papan atas klasemen wilayah Timur, apalagi menembus NBA Finals setidaknya dalam satu hingga dua musim kedepan. Sebagai fans, kini kewajiban Anda pun hanya satu. Bersabarlah menunggu dan lihatlah ke mana angin akan berhembus lebih lanjut di Windy City ini. Tampaknya, ini adalah waktu yang tepat bagi para penggemar Bulls untuk mengambil alih tagar (hashtag) #TrustTheProcess dari tim Philadelphia 76ers.

Komentar