IBL

Miris, sedih, marah, semua perasaan dan pemikiran negatif terus menggelayuti saya melihat situasi di perbasketan Indonesia akhir-akhir ini. Memang, masih ada euforia dan sedikit pencerahan saat saya dan Kang Idan (Rosyidan) bisa berbincang dengan David Singleton pekan lalu mengenai basket. Akan tetapi, melihat banyaknya permasalahan yang belum kelar, pemikiran saya kembali tercurah ke sana. 

Sampai sekarang, ada tiga tim IBL yang belum membayar gaji pemainnya. Dari tiga tim itu, hanya Bima Perkasa yang lolos ke Playoff. Artinya, pemain dan staf dari dua tim, Mountain Gold Timika dan West Bandits Solo belum juga dibayar meski musim mereka telah berakhir pada 24 Juni lalu. Situasi ini membuat saya terus bertanya, siapa yang bisa membantu mereka?

Kami dari Mainbasket, sudah berupaya aktif untuk terus membicarakan situasi ini. Saya pribadi, terus berbincang dengan pemain dan staf dari ketiga tim tersebut. Beberapa ada yang masih optimistis untuk menunggu janji yang terucap dari manajemen, beberapa juga sudah muak dan tak sungkan menunjukkannya di media sosial masing-masing. 

Namun, karena tidak Ada aturan yang benar-benar bisa mendorong manajemen tim untuk segera melunasi tunggakan mereka, manajemen pun tampak tak perlu buru-buru. Ya, aturan-aturan atau desakan untuk melunasi tunggakan ini harusnya datang dari liga, dari IBL. Mengapa demikian? karena di awal pun, yang melakukan verifikasi hingga merestui tim-tim ini berlaga dan manajemen-manajemen ini memiliki tim adalah IBL itu sendiri. 

Di sisi lain, kami juga sempat mendapatkan laporan bahwa beberapa pemain yang tidak dibayar itu sejatinya sempat ingin mogok bermain. Namun, niat itu mereka urungkan karena posisi mereka akan lebih sulit lagi. Dalam buku aturan IBL, tim yang tidak bertanding atau Walk Out (WO) akan mendapatkan sanksi denda. Kalau timnya terkena denda, peluang pemain yang tidak dibayar untuk mendapatkan bayaran mereka pun semakin sulit lagi. 

(Baca Juga: Kesulitan Finansial West Bandits)

Sedihnya lagi, dalam buku aturan setebal 49 halaman itu, tidak ada aturan yang melindungi pemain yang tidak dibayar. Memang ada aturan bahwa tim yang tidak mampu membayar akan mendapatkan hukuman pengurangan poin dan denda uang, namun tak ada satupun aturan yang menjelaskan bagaimana nasib pemain yang berada di tim tersebut. Di sini, seolah pemain sebagai aset utama liga tak benar-benar dipikirkan nasibnya. 

Kasus Abraham Grahita dengan Prawira Harum Bandung pun tak luput dari carut-marutnya aturan liga. Sudah bertahun-tahun kami dan hampir semua pecinta basket Indonesia tahu bahwa setiap pemain IBL hanya boleh main di satu liga selama musim kompetisi. Ini yang melandasi tim-tim antarkampung (tarkam), atau tim amatir tidak mengajak pemain profesional (IBL) untuk berlaga di turnamen-turnamen kecil mereka saat liga sedang berjalan.

Namun, ini semua berubah di situasi Agassi Goantara yang bermain di Seri Jakarta, Mei lalu. Sebelumnya, nama Agassi sudah didaftarkan Pelita Jaya Bakrie Jakarta sejak awal musim. Namun, ia tak sekalipun tampil sampai Seri 8 Jakarta, seri terakhir musim reguler karena sedang melanjutkan studi di Spanyol. Di Spanyol itu pula Agassi bermain di Liga EBA bersama tim AD Infante. Agassi bermain dan mencetak delapan poin di gim perdananya melawan Bima Perkasa. 

(Baca juga: Bukan tentang Agassi, Ini tentang Aturan yang Dibuat dan Dilanggar Sendiri oleh..)

Setelah turun bermainnya Agassi, kami mengunggah mengenai aturan bermain tadi. Agassi lantas diinvestigasi dan dibekukan statusnya sampai waktu yang tidak ditentukan. Ternyata, IBL hanya butuh dua hari untuk menyatakan Agassi tak bersalah. Alasannya karena diminta tim nasional untuk menjaga kondisi dengan bermain di liga lain. Agassi dihukum tak boleh bermain di lima laga.

Dalam keterangannya, hukuman diberikan kepada Agassi mengacu pada aturan Bab II Pasal 22 poin 4 yang menurut liga sudah diketahui oleh semua tim peserta IBL. Nyatanya, saat kami berbincang dengan beberapa wakil manajemen tim IBL, tidak ada yang mengetahui keberadaan aturan tersebut. 

Saya yakin Prawira juga tidak mengetahui hal ini. Oleh sebab itu, mereka berusaha keras untuk menjaga Abraham tidak berangkat ke Jepang karena peluang mereka juara cukup besar di musim ini, dengan skuad yang mereka punya ditambah pemain terbaik liga. Akhirnya memang Abraham berangkat. Prawira, sampai di partai final pun masih menanyakan kemungkinan Abraham untuk bermain (kepada Mainbasket), apa boleh atau tidak? 

Dua contoh kasus di atas adalah dua masalah yang sangat krusial untuk basket Indonesia. Sebagaimana visi IBL yang ingin menciptakan liga bolabasket profesional sebagai industri yang berkembang, dua hal ini tidak menunjukkan industri yang profesional.

Hal yang pertama, masa depan atlet benar-benar tidak ada jelasnya. Saat tim yang sudah diverifikasi IBL kolaps, hancur, bangkrut di tengah jalan dan gaji mereka tidak terbayarkan, kepada siapa mereka mengadu? Kepada siapa mereka menuntut haknya? Padahal, salah satu misi IBL adalah menjadikan olahraga bolabasket sebagai pilihan profesi. Mana ada orang yang ingin bekerja sebagai profesional yang tidak jelas kapan dibayarnya meski sudah menjalankan kewajibannya?

Pada kasus Abraham, menjagi pemain yang jago seolah justru membawa kesulitan. Abraham sudah memenangkan nyaris semuanya di sepanjang kariernya. Bahkan, ia termasuk pemain yang sudah dua kali meraih MVP liga yang secara aklamasi membuatntya menjadi pemain terbaik di IBL. Namun, karena komunikasi yang tak jelas antara liga kepada tim-tim peserta, ia menghadapi masalah mengembangkan kariernya ke liga yang lebih baik lagi.

Perlu diingat, bahwa aturan pemain hanya boleh bermain di IBL dan tidak di kompetisi lain dalam satu musim hanya berlaku untuk pemain lokal. Pemain asing bebas-bebas saja datang ke liga kita setelah menyelesaikan musimnya di liga lain. 

Liga harus berbenah. Pertama jelas, seleksi dan verifikasi untuk tim-tim yang akan bertarung untuk musim-musim selanjutnya harus lebih ketat dan terperinci lagi. Jika ada perpindahan kepemilikan atau operasional (seperti Bima Perkasa), verifikasi dan proses harus lebih dalam lagi.

(Baca juga: Pemain Bima Perkasa Menagih Gaji)

Seperti yang kami suarakan dalam beberapa tahun belakangan, segerakan aturan salary cap. Tim-tim yang "mendang-mending", tim-tim yang tidak kuat mengikuti batas gaji yang ada, singkirkan saja. Jangan jadikan tim yang standarnya rendah jadi standar bersama. Oh iya, tetap hapuskan program Indonesia Patriots. Kenapa? Nanti tim Mainbasket akan mengulasnya. 

Untuk buku aturan yang ada selama ini, rasanya perlu diperbarui lagi, perlu diperinci lagi seiring dengan dinamika yang ada di basket. Liga harus lebih aktif lagi. Jangan merasa sebagai operator semata. Liga harus jadi tempat bernaung untuk seluruh pemain dan ofisial basket. Liga adalah entitas bisnis, tempat orang mencari nafkah yang layak dan terjamin. 

Pembenahan ini wajib dilakukan secepatnya dan kongkret. Pasalnya, situasi seperti yang terjadi di musim ini bisa sangat berpengaruh kepada mentalitas generasi muda. Bagaimana mereka ingin berkarier profesional di dunia basket jika di setiap tahunnya, permasalahan terus ada di liga profesional. Lebih lagi, permasalahan yang sifatnya non-teknis seperti ini. Permasalahan yang benar-benar tidak ada yang mau bertanggungjawab. 

Pada dua masalah di atas, federasi juga tak memberikan tanggapan apa-apa. Mereka lebih memilih "menghargai" urusan masing-masing tim dan pemainnya ketimbang membantu mencari penyelesaian masalah. Padahal, setiap pemain dan tim tersebut, jika ingin melakukan segala sesuatu tentang basket, juga butuh restu dalam bentuk surat rekomendasi dari mereka. Tapi ya sudahlah, sudah biasa. 

Pun demikian, saya punya harapan untuk generasi muda basket Indonesia. Pertama, jangan kapok ya, jangan kesal sama basketnya. Ini kemungkinan besar hanya terjadi di sini kok. Basket di luar sana indah, menyenangkan, dan membuat kalian akan menjadi lebih baik, sebagai pemain ataupun individu.

Kedua, teruslah berlatih segiat mungkin, sebenar mungkin, dan sebaik mungkin. Jangan batasi diri kalian. Bermimpilah setinggi mungkin. Jika Abraham yang dari Bangka Belitung saja bisa, kalian juga pasti bisa. Jadi, jadikan bermain di liga Jepang adalah mimpi paling rendah kalian. Jadilah pemain kelahiran dan tumbuh di Indonesia pertama yang bermain di liga-liga basket level atas dunia sana, NBA, Eropa, atau liga-liga yang lebih baik di Asia. 

Jika ada yang bilang itu tidak mungkin? Jauhi saja. Tidak ada yang tidak mungkin sekarang. Jika kalian masih berusia SMA dan membaca tulisan ini, pastikan diri kalian ikut DBL. Dominasi DBL kota kalian hingga kalian masuk ke DBL Camp. Di DBL Camp, tunjukkan performa terbaik kalian hingga kalian menjadi DBL All Star dan berangkat ke Amerika Serikat. 

Pada bulan Juli 2023 lalu, DBL All Star berangkat ke Chicago dan mengikuti turnamen bersertifikasi NCAA. Ada beberapa pencari bakat yang hadir dan memantau pemain-pemain. Sebanyak satu pemain putra dan empat pemain putri mendapatkan tawaran beasiswa penuh. Memang bukan langsung di NCAA, melainkan NJCAA, namun itu tetaplah sebuah pencapaian besar dan tiket untuk berkembang di Amerika Serikat. 

(Baca juga: Perjalanan KFC DBL Indonesia All-Star di Chicago)

Saran saya untuk para pemain DBL All Star 2023 yang mendapat tawaran, ambil tawaran itu. Ini bukan semata tentang basket di level kampus Amerika Serikat. Kalian akan diajarkan menjadi sosok profesional dalam kegiatan sehari-hari. Jadi, jika pun kalian tak menemukan tempat bernaung sebagai pebasket profesional di Amerika Serikat, kalian masih bisa menjadi profesional di bidang lain dengan perbekalan yang sudah kalian dapatkan. 

Sampai sini, saya harap semua hak pemain dari Mountain Gold Timika, Bima Perkasa Yogyakarta, dan West Bandits Solo segera mereka dapatkan. Pun juga dengan seluruh bagian tim mereka yang tak semuanya punya kontrak, semoga mereka tak terlupakan.

Untuk Abraham dan Prawira juga semoga lekas menemukan jalan keluar terbaik. Abraham akan menjadi tambahan luar biasa untuk Prawira mempertahankan gelar juara mereka. Terakhir, untuk basket Indonesia, ayo berbenah bersama! Ayo tunjukkan semangat untuk menjadi lebih baik demi generasi muda yang ingin terus memainkan permainan yang menyenangkan ini. Jangan membuat mereka kapok atau bahkan kesal kepada basket ini. 

Foto: Ariya Kurniawan, Hariyanto, Oska Tigana

Komentar