IBL

Tulisan ini sambungan tulisan sebelumnya "Bolaharam: Harga Resmi Transfer Pemain IBL Kemurahan dan Pemain Gak Dapat Banyak".

---

Beberapa pemain IBL sedang berada di dalam limbo. Bila tak ada yang membantu, mereka bisa terjebak di sana hingga dua tahun lamanya.

Pintu masuk ke ruang limbo itu ada. Setiap pemain IBL pasti akan melewati ruang limbo. Hal yang berbeda-beda hanya durasinya. Ada yang sekejap mata, ada yang terkatung-katung lama. Paling lama, ya bisa hingga dua tahun tadi.

Ruang limbo itu bernama aturan Restricted Free Agent IBL. Dalam tulisan-tulisan sebelumnya saya sudah jelaskan tentang aturan ini. Ruang limbo ini memiliki "kamar tambahan" bernama Peringkat Pemain IBL.

Setiap akhir musim, IBL mengeluarkan daftar peringkat pemain di klubnya masing-masing. Urutan peringkat ini menentukan nilai mereka di bursa transfer. Seperti yang sudah pernah saya ceritakan pula, saya rasa harganya kemurahan. Belakangan, saya menemukan, harganya juga bisa kemahalan. Dilema inilah yang membuat pemain bisa terjebak lama di dalam limbo.

Seorang pemain yang tak lagi diminati oleh timnya bisa menempatkan pemain tersebut di peringkat berapapun di dalam timnya (harus dengan persetujuan IBL). IBL memperkenankan tim melakukan ini kepada maksimal tiga pemain. Oleh karenanya, dengan mengubah posisi peringkat, tim bisa menentukan nilai atau harga pemain tersebut di bursa transfer. Dus, setiap tim punya daftar peringkat pemain.

Cara ini rasanya tak adil. Inilah salah satu sumber masalah mengapa ada pemain yang hendak dijual dengan harga di atas harga menurut peringkatnya (misalnya, harga resmi 100 juta, tapi tim menjualnya dengan harga 200 juta), dan ada pemain yang sebenarnya kemampuannya biasa saja, tak bisa pindah ke klub lain karena klub lamanya menempatkannya di peringkat tiga besar. Alhasil, klub lain melihat harga pemain tersebut kemahalan.

Cara penentuan nilai atau harga pemain saat ini layak untuk dipertimbangkan kembali untuk diubah. Waktu melihat daftar peringkat yang dikeluarkan oleh IBL, dengan serta-merta kita bisa melihat ada yang rasanya tidak "sreg".

Pemain peringkat pertama di Amartha Hangtuah Jakarta adalah Fisyaiful Amir. Peringkat yang sama diisi oleh Abraham Damar Grahita di Prawira Bandung, Arki Dikania Wisnu di Satria Muda Pertamina Jakarta, Yonatan di Pacific Caesar Surabaya, dan Bryan Elang di Satya Wacana Saints Salatiga.

Walau lima pemain di atas berada di peringkat pertama klubnya masing-masing (dan oleh karenanya bernilai sama di bursa transfer), kontribusi mereka di musim itu berbeda-beda.

Dalam 16 gim, Abraham rata-rata mencetak 15,8 poin (FG 45,5%), 5,3 rebound, 2,8 asis per gim. Arki Wisnu rata-rata (16 gim) 12,7 poin (FG 48,5%), 6,5 rebound, 3,8 asis per gim. Juga dalam 16 gim, Fisyaiful Amir rata-rata membuat 9,6 poin (FG 36,8%), 6,0 rebound, 2,5 asis per gim. Yonatan rata-rata (16 gim) 10,2 poin (FG 42,4%), 7,5 rebound, dan 0,5 asis per gim. Bryan Elang rata-rata (15 gim) 8,2 poin (FG 44,7%), 8,8 rebound, 2,0 asis per gim.

Itu baru catatan statistik yang paling dasar. Belum lagi angka-angka ukuran peran mereka di dalam tim (statistik lanjutan). Berapa potensi poin yang bisa dicetak tim saat mereka di lapangan, atau berapa kemampuan lawan mencetak poin ketika mereka memperkuat timnya.

Coba lihat lagi contoh lain. Sandy Ibrahim ada di peringkat empat Satria Muda. Dalam 16 gim, Sandy rata-rata mencetak 9,0 poin (FG 40,8%), 3,8 rebound, dan 0,8 asis per gim. Di Amartha Hangtuah, Gunawan ada di peringkat enam. Dalam 16 gim, Gunawan rata-rata mencetak 5,3 poin (FG 32,9%), 3,0 rebound, 0,7 asis per gim. Walau berbeda dua peringkat, nilai Sandy dan Gunawan di bursa transfer sama-sama 100 juta rupiah.

Sederhananya, kemampuan pemain peringkat 1-3 di tim-tim papan atas berbeda dengan kemampuan pemain dengan peringkat yang sama di tim-tim papan bawah.

Aturan pemeringkatan pemain di akhir musim ini rasanya perlu diubah. Alih-alih menentukan nilai pemain secara merata di seluruh liga berdasarkan peringkatnya di tim masing-masing, rasanya akan lebih baik dibuatkan sistem pemeringkatan pemain secara menyeluruh. Katakanlah saat ini IBL memiliki 200 pemain, maka IBL perlu mengeluarkan daftar peringkat pemain dari ranking 1 sampai 200 di akhir musim. Dari data peringkat ini kemudian dikelompokkan lagi agar lebih mudah memberi valuasi setiap pemain. Misalnya, peringkat 1-3 bernilai 500 juta. Peringkat 4-10, 400 juta. Peringkat 11-20, 250 juta. Peringkat 21-40, 100 juta. Dan seterusnya.

Dengan jajaran pelatih dan pengamat yang semakin peka dalam menilai performa seorang pemain, sistem pemeringkatan seperti ini rasanya bisa dilakukan. Sistem ini, dengan pertimbangan valuasi pemain yang wajar dan masuk akal, bisa jadi akan menghancurkan salah satu ruang limbo yang menjebak para pemain IBL. Limbonya sendiri akan bisa benar-benar dihancurkan ketika aturan Restricted Free Agent IBL dihapuskan.(*)

Foto: IBL/Hari Purwanto

Komentar