IBL

Saya tiba di Palembang pada Rabu, 23 Oktober 2019. Mendarat di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II lewat tengah hari. Sorenya, saya langsung berkunjung ke Palembang Sports and Convention Center (PSCC) untuk menonton Honda DBL South Sumatera Series 2019.

Hari itu, pertandingan-pertandingan berlangsung membosankan. Tidak ada permainan yang menggugah. Saya hampir tertidur dalam duduk. Lamat-lamat terbayang empuknya kasur hotel. Ingin rasanya merebahkan diri saja di sana.

Keesokan harinya, ekspektasi saya terhadap bola basket di Sumatera Selatan tidak besar-besar amat. Saya sangsi akan menemukan hal seru di sana. Namun, tetap datang ke PSCC demi meliput Honda DBL. Mau bagaimana lagi, sudah tugas dari kantor.

Keputusan saya untuk tetap datang ke gelanggang ternyata berbuah manis. Saya menonton sebuah pertandingan yang akhirnya menggugah. Pertandingan pertama pada hari kedua itu mempertemukan tim putri SMAN 2 Lahat (Smandala Mutiara) dengan SMAN 2 Martapura (Smanda Utama) dalam babak Fantastic Four. Siapa yang menang akan melaju ke Final Party.

Bagi saya, pertandingan antara Smandala Mutiara versus Smanda Utama menggugah bukan karena permainannya. Namun, lebih kepada cerita di baliknya. Usut punya usut, kedua tim ternyata berangkat dari tempat yang jauh. Ratusan kilometer dari Palembang. Saya sempat tercengang mendengarnya.

Smandala Mutiara, tim juara bertahan Honda DBL South Sumatera Series, misalnya, mesti menempuh perjalanan sekitar 5—6 jam untuk mencapai lokasi pertandingan dari Lahat. Kepala Pelatih Susan Meisaroh mengatakan, timnya sampai harus menginap demi mempertahankan gelar juara. Dan kebetulan mereka sudah melakukannya selama tiga tahun.

Smandala Mutiara di bawah asuhan Susan tampil pertama kali di Honda DBL South Sumatera Series pada 2017. Sejak itu, mereka konsisten mengikuti kompetisi walau jarak tempuhnya ratusan kilometer sekalipun. Sebab, bagi anak-anak Smandala Mutiara, Honda DBL adalah mimpi yang ingin dicapai. Mereka tahu kompetisi antarpelajar paling bergengsi tersebut dapat membantu masing-masing pribadi untuk mengekspresikan dirinya.

Untungnya, kerja keras Susan dkk. selalu terbayar. Meski harus menempuh perjalanan jarak jauh, mereka mampu memetik hasil yang maksimal. Pada tahun pertama, misalnya, Susan berhasil mengantarkan timnya mencapai semifinal. Namun, kalah di babak itu karena merasa belum cukup kuat.

Susan tidak menyerah. Sekali lagi, ia mencoba peruntungannya. Pelatih yang juga alumni sekolah itu mendaftarkan Smandala Mutiara ke Honda DBL South Sumatera Series untuk kali kedua. Saat itulah mereka memetik buah manis perjuangan. Smandala Mutiara keluar sebagai juara.

Nikmatnya menjadi juara membuat Smandala Mutiara ketagihan. Susan kembali mendaftarkan sekolahnya untuk kali ketiga. Mereka ingin mempertahankan juara. Apalagi sekolah sangat mendukung mereka untuk berpartisipasi demi prestasi.

Kebetulan, kesempatan itu datang. Smandala Mutiara menang atas Smanda Utama. Mereka berhak melaju ke Final Party.

Sementara itu, Smanda Utama mesti puas sampai Fantastic Four. Mereka terpaksa pulang tanpa gelar. Namun, perjuangannya tentu tidak akan sia-sia. Sama seperti Smandala Mutiara, Smanda Utama juga telah menempuh perjalanan jarak jauh yang memakan waktu. Pengalaman mengikuti Honda DBL akan membekas dalam relung hati masing-masing anak. Tahun depan, mereka ingin semakin serius mengejar gelar.

Sejak pertandingan itu, saya jadi ingat nasib sendiri. Dulu saya juga seorang pemain bola basket. Pernah sekolah di sebuah SMA negeri di Cibadak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Sayangnya, tidak sempat menyicipi kompetisi Honda DBL. Padahal saat itu kompetisi antarpelajar tersebut sudah ada.

Saya tidak sempat menyicipi Honda DBL karena sekolah tidak mengizinkan. Alasannya ada dua: Jaraknya jauh dan ongkosnya mahal. Nyatanya, letak Sukabumi ke kota penyelenggaraan Honda DBL West Java Series-West Region di Bogor tidak jauh-jauh amat. Dan ongkos pun bisa ditanggung sendiri oleh pemain. Saya yakin saya mampu. Begitu pun teman-teman yang lain.

Kendati demikian, sekolah tetap tidak mengizinkan. Mereka tidak percaya bahwa partisipasi itu penting. Seberapa pun jauhnya. Sebuah kutipan di kantor DBL Indonesia menegaskan itu. Di depan ruangan pendirinya, terpampang kalimat berbunyi: “Partisipasi  adalah income, prestasi adalah cost. Kalau partisipasi terus dikembangkan, maka partisipasi akan membiayai prestasi.”

Cerita Smandala Mutiara seharusnya cukup menjadi bukti. Mereka terus berpartisipasi sampai bisa berprestasi. Smanda Utama, yang kalah di Fantastic Four, mungkin giliran berikutnya. Sebab, siapa yang terus memupuk partisipasi, mereka punya harapan untuk berprestasi.

Saya kebetulan tidak diberi kemewahan itu. Namun, semoga anak-anak Indonesia saat ini tidak begitu. Saya doakan mereka punya kemewahan yang sama seperti Smandala Mutiara dan Smanda Utama. Sebuah kemewahan untuk berjuang demi prestasi.

Foto: DBL Indonesia

Komentar