IBL

Saya pernah kecopetan di bus dalam perjalanan pulang ke Bandung, Jawa Barat. Laptop saya hilang. Lengkap dengan tas berisi charger dan joypad. Sejak itu saya tidak memandang dunia dengan cara yang sama lagi.

Saya menjadi awas setiap kali melakukan perjalanan dengan kendaraan umum. Saya berjalan penuh waspada di trotoar yang ramai. Bahkan saya tidak pernah nyaman ketika seseorang yang asing berjalan tepat di belakang saya. Semua orang menjadi punya potensi untuk mengambil sesuatu dari saya. Belantara dunia yang tidak bisa dipercaya itu membuat hidup saya penuh curiga.

Saya kemudian tumbuh menjadi orang yang skeptis. Pada sisi itu, saya tidak mudah percaya ketika asisten pelatih NSH Jakarta, Ruspin Gultom, ingin timnya seperti Leicester City. Ia kadung percaya kalau NSH bisa seperti itu suatu saat nanti. Padahal tidak mudah mewujudkan cerita dari negeri dongeng. Seperti apa yang dilakukan klub asal Inggris itu.

Leicester City memang seolah-olah muncul tiba-tiba. Bagai cinta datang tanpa diundang. Media sebelumnya tidak punya atensi meliput pertandingannya. Tapi musim ini (2014-2015) berbeda, media santer memberitakan mereka. Seperti tergila-gila pada kisahnya.

Orang-orang membicarakan mereka seperti melantunkan lagu yang membuat dongeng menjadi kenyataan. Para ksatria Leicester—yang atas kerjasama baiknya—meruntuhkan dominasi klub-klub papan atas Liga Inggris. Bukan tidak mungkin kalau tim (yang dulunya) papan bawah itu bersenang-senang di akhir musim ini.

Seiring bertambah usia, saya kemudian tumbuh dewasa dan melihat celah-celah yang memungkinkan saya untuk percaya kepada sesuatu. Apalagi setelah mendengar kisah anak asuh Claudio Ranieri itu. Bukan tidak mungkin kali ini saya kadung percaya kalau NSH bisa seperti Leicester City pada sisi lain diri saya. Kemungkinan itu selalu ada, dan biasanya muncul dengan berbagai syarat. Waktu kemudian akan menjawab semuanya.

“Mungkin tiga atau empat tahun lagi,” ujar Ruspin tentang kemungkinan NSH bisa merangkak ke papan atas. “Saya selalu tekankan kepada anak-anak, memangnya mau begini terus? Kita harus lebih keras lagi berlatih jika ingin sama seperti mereka (tim papan atas).”

NSH sendiri sebetulnya punya pemain yang berpotensi. Pemain mudanya cukup berlimpah. Sebut saja R. Azzaryan Pradhitya dan Benny Wijaya. Atau kalau boleh lebih, tambahkan nama Raylly Pratama. Boleh jadi tiga atau empat tahun lagi, mereka akan menjadi Jamie Vardy, Riyad Mahrez, dan N’Golo Kantenya liga basket Indonesia. Siapa tahu?

R. Azzaryan Pradhitya Shooting Guard NSH Jakarta bintang kemenangan NSH atas Pacific Caesar Surabaya-Dokumentasi IBL (1)

Soal itu, Ruspin mengatakan: “Roda itu berputar. Ada saatnya mereka (tim papan atas) berada di bawah. Saat itu kita (NSH) yang akan naik.” Tapi sayangnya, bagi saya, persaingan tidak semudah itu. Saat roda berputar, tim-tim papan bawah sampai tengah pun punya potensi yang sama untuk merangkak naik. NSH masih akan sibuk dengan pekerjaan rumah yang cukup banyak.

Mempertahankan Itu Sulit

Saya pernah mendengar kalau memulai hubungan baru itu lebih mudah daripada mempertahankan cinta yang ada. Saya bahkan mengalaminya sendiri, betapa sulit menjaga seseorang untuk waktu yang lama. Lalu bagaimana NSH menjaga potensi yang mereka miliki sampai betul-betul mekar?

Bercemin pada kisah Sir Alf Ramsey. Pria terhormat itu membawa sepak bola Inggris menjuarai Piala Dunia 1966. Ia satu-satunya pelatih yang mampu membawa timnya juara dunia. Tidak ada yang lain karena sejak itu Inggris kelihatan payah karena kehilangan satu per satu partitur yang membuat lagunya enak didengar.

Filosofi milik Sir Alf Ramsey sederhana saja: never change the winning team. Ia memercayai sebelas pemain andalannya dan berpegang teguh kepada mereka. Satu filosofi yang dianut Claudio Ranieri kala menakhodai Leicester City musim ini patut diadaptasi NSH. Setidaknya mempertahankan pemain seperti R. Azzaryan Pradhitya, Benny Wijaya, dan atau Raylly Pratama adalah opsi terbaik yang bisa dipilih. Menjadikan mereka sebagai partitur tetap dalam lagu dongeng NSH adalah kebaikan.

Sayangnya, apapun bisa terjadi di kemudian hari. Seperti saya yang kehilangan laptop, NSH bisa saja kehilangan pemainnya. Entah karena tawaran dari klub lain yang menggiurkan atau memang tidak ada harapan lagi untuk bermain dan memutuskan pensiun. Butuh kegigihan untuk menempatkan mereka tetap tumbuh bersama tim yang sama. Akan menarik menyaksikan bagaimana para konduktor NSH memimpin orkestra terbaik versi mereka. Jangan sampai impian itu malah menjadi lagu sendu.

Selamat berjuang bertahun-tahun lagi!

Foto: Sports Illustrated, IBL.

Komentar