IBL

Awal bulan Desember 2017 lalu, Mainbasket sempat membuat pungutan suara terkait penyelenggaraan Indonesian Basketball League 2017-2018, menyusul adanya insiden pengaturan pertandingan (match fixing) di musim sebelumnya. Ada yang pro, ada pula yang kontra dengan hal itu. Rocky Padila, fotografer sekaligus vlogger ternama, bahkan menyatakan dengan terang-terangan ketidaksetujuannya terhadap pungutan suara tersebut lewat Insta Story di Instagram beberapa waktu lalu.

Dengan melihat unggahannya itu, saya jadi tahu garis besar masalahnya. Ia melihat pungutan suara itu sebagai bentuk ketidaknetralan sebuah media. Seolah-olah Mainbasket tidak mendukung terselenggaranya liga tepat pada Desember 2017 ini. Atau bentuk ketidaknetralan lainnya. Akan tetapi, saya berpendapat lain.

Saya rasa Mainbasket tidak seemosional itu dalam membuat pungutan suara. Saya justru melihatnya dari sisi yang berbeda. Karena bagi saya, hal tersebut tidak bisa dibawa dengan nuansa yang terlalu sentimental. Justru itu bagian dari kritik yang membangun.

Hasil pungutan suara di Twitter itu—sampai 17 Desember 2017, dan sepertinya tidak akan berubah lagi—memastikan bahwa sekitar 58 persen warganet masih mau menonton liga (22 persen mau banget dan 36 persen mau) sementara lainnya menyatakan enggan. Persentase mereka yang tampak enggan itu cukup besar, sekitar 42 persen. Sisanya mungkin abstain, termasuk Mas Sugeng, teman saya yang seorang tukang bakso di Bandung dan tidak tertarik pada bola basket.

Untuk apa Mas Sugeng ikut pemungutan suara? Toh, ia tidak peduli dan tidak punya akun Twitter. Oleh karena itu, baiklah, lupakan Mas Sugeng!

......

Pungutan suara itu sendiri memang tidak bisa dijadikan acuan pasti. Namun, sedikitnya hasil itu menunjukkan, ada lebih banyak orang ingin menonton pertandingan liga basket Indonesia dibandingkan yang tidak mau. Buktinya, animo masyarakat untuk datang ke GOR Sahabat di IBL Seri I Semarang terbilang cukup bagus.

Salah satu indikatornya—seperti juga dibangga-banggakan operator liga—adalah tiket yang habis terjual. Meski pun di sisi lain, hal itu lagi-lagi tidak bisa dijadikan acuan pasti mengingat keberadaan para calo yang culas. Ya, calo yang suka menjual dengan harga semaunya itu. Akan tetapi, jika melihat sekilas dari tayangan langsung lewat kanal IBL di YouTube, penontonnya ramai.

Saya bersyukur. Semoga Anda pun begitu. Namun, masalahnya tidak sesederhana itu.

Dengan melihat pungutan suara itu dan sekilas kenyataannya di Seri I, saya jadi teringat akan sebuah tulisan di The Guardian. Tulisan itu dibuat oleh seorang kontributor bernama Kareem Abdul-Jabbar.

Sebagai pengarang, Abdul-Jabbar aktif menulis sejumlah buku dan menjadi kontributor di beberapa media. Sebagai aktivis, ia giat mendanai sejumlah upaya penyelesaian masalah publik, sehingga pada 2016 Presiden Barrack Obama menganugerahinya medali perdamaian. Namun, bukan itu yang akan dibahas dalam tulisan ini. Karena tulisannya di The Guardian justru lebih penting kaitannya dengan pungutan suara Mainbasket.

Mengapa?

Dalam tulisan tersebut, Abdul-Jabbar mengatakan bahwa basket (NBA) akan menggantikan NFL (National Football League) sebagai wajah olahraga masa depan Amerika Serikat. Meski pun di sisi lain, sepak bola amerika (american football) masih lebih banyak ditonton oleh orang-orang AS. Apalagi olahraga keras itu telah mewakili semangat AS era ’90-an awal dengan permainannya yang penuh taktik dan membutuhkan kerja sama tim yang presisi. Sungguh sebuah olahraga yang dapat memvisualisasikan spirit Paman Sam yang senang menghadapi semua tantangan dengan cara yang berisiko. Namun, sayang, ternyata kini Sang Paman pun telah berubah.

Dengan perubahan itu, Abdul-Jabbar melihat adanya sebuah pergeseran. Sekali lagi, meski pun sepak bola amerika masih memiliki penggemar terbanyak daripada basket, baseball, dan hoki, tetapi jumlah penggemarnya selama lima tahun ke belakang ternyata menurun. Sepanjang 2012-2017, penggemar sepak bola amerika menurun sekitar 10 persen, sementara basket justru meningkat tiga persen. Di situlah letak pergeserannya.

Salah satu faktor utama yang membuat orang-orang AS beralih dari sepak bola amerika adalah resikonya. Kini mereka menganggap olahraga itu berbahaya secara fisik. Sebuah studi yang dirilis Journal of American Medical Association pada 2017 menunjukkan, 110 dari 111 penderita masalah kerusakan otak (chronic traumatic encephalopathy) adalah bekas pemain NFL. Lebih parahnya, data menunjukkan bahwa penyakit itu juga terjadi di banyak kasus penderita usia sekolah.

“Depresi dan demensia itu tidak seksi,” tulis Abdul-Jabbar, seperti dirilis The Guardian pada Selasa, 12 Desember waktu setempat.

Dengan adanya studi itu, maka sepak bola amerika selain terbukti kehilangan penggemar dewasanya, juga kehilangan penggemar potensial, yaitu anak-anak. Sehingga hal itu kemudian membuat basket menjadi olahraga yang lebih populer dari sebelumnya. Orang-orang pun begeser—atau lebih tepatnya beralih—ke olahraga yang lebih aman seperti basket.

Pendapat itu tentu tidak berdiri sendiri. Ia dikuatkan oleh salah satu survey media besar. Menurut ESPN, basket kini memang lebih populer daripada sepak bola amerika di kalangan anak-anak muda—baik laki-laki maupun perempuan—karena sepak bola amerika bertanggung jawab atas 28 persen kasus cedera, sementara basket hanya 15 persen. Ini tentu saja menjadi angin segar bagi dunia basket dan kita yang mencintainya.

Hal di atas mungkin menjadi persoalan besar, tetapi ternyata ada yang lebih menarik di samping faktor utamanya. Karena di zaman ini, para atlet tidak lagi senang mengumpulkan uang dari jerih payahnya dan berdiam diri di rumahnya yang besarnya untuk menikmati hasil.

Sekarang para atlet lebih senang menjadi sosok panutan yang merasa bertanggung jawab untuk mengembangkan komunitas sosialnya. Mereka merasa perlu menjadi representasi. Apalagi jika masalahnya menyangkut kepentingan bersama.

Pada perjalanannya, langkah-langkah mereka tentu akan dihadang oleh palang melintang. Meski begitu, mereka akan tetap berekspresi, karena itu inti dari semangatnya. Semangat melakukan aksi.

Sepak bola amerika memang telah menjadi pelopor aksi-aksi protes patriotik di dalam lapangan. Salah satu penggawa terkenal dari aksi-aksi itu adalah Collin Kaepernick, yang kemudian membayarnya dengan harga mahal, karena karirnya sebagai atlet sepak bola amerika kini menjadi sulit. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau Abdul-Jabbar tampak kecewa. Mau bagaimana lagi, tidak ada tim yang mau merekrut Kaepernick.

“Sedih ketika melihat beberapa pemilik meringkuk ketakutan dan bukan merangkul ekspresi ini dengan lebih baik,” ujar Abdul-Jabbar tentang bentuk-bentuk protes di NFL.

Melihat hal demikian itu, saya lantas melihat beberapa peristiwa di NBA. Saya melihat bahwa liga basket tersohor itu ternyata lebih baik dalam merangkul ekspresi (dalam hal ini aksi-aksi protes yang dilakukan segelintir pelaku olahraganya). Mereka—NBA itu—lebih toleran ketika berhadapan dengan isu-isu sosial, budaya, maupun politik di sekelilingnya. Bahkan kepala pelatih San Antonio Spurs, Gregg Popovich tidak mau melarang anak-anak asuhnya mengekspresikan keresahan mereka. Ia tidak keberatan jika salah satu pemainnya ingin bersuara tentang suatu hal.

Di sisi lain, beberapa pemain sudah melakukan itu. Coba lihat bagaimana Stephen Curry menyuarakan pendapatnya tentang veteran perang yang terabaikan negara. Atau, kalau tidak sibuk, baca kisah Ray Allen yang menaruh perhatian pada kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Tengok pula beberapa pemain yang mengenakan kaus bertuliskan “I Can’t Breathe” untuk memprotes kasus meninggalnya Eric Garner oleh polisi di tahun 2014. Saya kira bentuk-bentuk protes itu merupakan salah satu kebebasan berekspresi yang dimaksud Abdul-Jabbar tentang masa depan wajah AS.

(Baca juga: Kita (Anak Basket) Patut Bersuara Apapun Mediumnya)

Sehubungan dengan hal-hal di atas, maka bolehlah memasukkan pungutan suara Mainbasket tentang penyelenggaraan IBL ke dalam bagian kebebasan berekspresi. Karena lewat pungutan suara itu, setidaknya publik bisa menyuarakan pendapat mereka masing-masing. Bagi saya, Mainbasket sebagai salah satu media berpengaruh di dunia basket Indonesia hanya memediasi pesan-pesan khalayak lewat pungutan suara, dan itu tidak menyalahi aturan.

Lagipula—jika melihat hasilnya—seharusnya kita tahu ternyata banyak orang masih mau menonton IBL, meski mereka dibohongi oleh segelintir oknum yang melakukan pengaturan pertandingan. Lebih dalam daripada itu, lewat pungutan suara itu pula, kita bisa melihat bahwa publik ternyata masih menaruh harapan dan kepercayaan kepada IBL untuk menyelenggarakan liga dengan baik.

Kami—saya dan mereka yang masih mau menonton IBL—tentu tidak ingin liga kasta tertinggi di Indonesia ini absen dari dunia olahraga profesional. Seburuk-buruknya apa yang terjadi di musim lalu, masih ada harapan untuk memperbaikinya hari ini. Belum terlambat meyakini.

Kendati demikian, di sisi lain dari hasil pungutan suara itu pula, IBL tidak bisa serta merta mengabaikan satu hal tentang seberapa banyak orang yang menyatakan keengganannya. Karena persentasenya cukup besar—42 persen! Jika IBL mengabaikan hal ini, tentu saja masalah keengganan ini akan menular kepada mereka yang masih mau menonton, termasuk saya. Karena semestinya dari hasil pungutan suara itu, IBL sadar bahwa citra bagus mereka sedang terancam.

Maka dengan begitu, saya kira itulah cara terbaik menerjemahkan maksud dari pungutan suara yang dilakukan Mainbasket. Setidaknya dari pungutan suara itu, IBL diingatkan untuk seserius mungkin melawan tindakan-tindakan buruk seperti pengaturan pertandingan. Karena bentuk-bentuk perjudian agaknya menggores kepercayaan dan minat publik untuk menonton pertandingan.

Oleh karena itu, seperti apa yang saya katakan di awal tulisan, masalah pungutan suara ini tidak bisa dibawa dengan nuansa yang terlalu sentimental. Saya memandang pungutan suara ini sebagai bentuk dukungan Mainbasket yang bertindak sebagai fourth estate—pilar keempat demokrasi—yang bertugas mengawasi jalannya liga. Saya memandang pungutan suara ini sebagai kritik yang membangun dan membantu IBL sadar akan bahayanya kehilangan penggemar. Sehingga mau-tidak mau IBL harus melakukan hal-hal yang bisa menyokong kepercayaan kami, para penonton, untuk memastikan bahwa pertandingan yang kami tonton bersih dari segala bentuk pengaturan yang tidak sah.

Salam olahraga!

Komentar