Naismith Memorial Basketball Hall of Fame setiap tahunnya mengumumkan orang-orang terpilih yang namanya berhak masuk ke deretan sejarah bola basket dunia. Pada 2018 ini, mereka mengumumkan 13 nama yang dilantik sebagai Hall of Famer pada 7 September. Basketball Hall of Fame (BHOF) angkatan 2018 ini, di antaranya: Steve Nash, Jason Kidd, Ray Allen, Grant Hill, Maurice Cheeks, Charlie Scott, Dino Radja, Tina Thompson, Katie Smith, Ora Mae Washington, Rick Welts, Rod Thorn, dan Lefty Driessel.

Nama-nama di atas terpilih setelah berkas mereka—berupa catatan informatif dari berbagai media seperti surat kabar, majalah, dan data-data faktual lainnya—dikurasi melalui proses panjang. Setelah itu, berkas-berkas valid memasuki tahap saring dan pemungutan suara yang melibatkan komite-komite tertentu. Oleh karena itu, perlu bagi para pihak yang terlibat mengetahui sejarah para calon penerima Hall of Fame sebelum memutuskan mereka menjadi finalis.

Dengan semangat yang sama, Mainbasket pada kesempatan ini mengulas kisah-kisah para  Hall of Famer. Mereka—ke-13 Hall of Famer angkatan 2018—memiliki kisahnya masing-masing.

 

***

 

Jalan menuju Naismith Hall of Fame bukanlah jalan yang mudah bagi siapa pun, termasuk Steve Nash.

Buat Steve Nash, menjadi seorang pebasket NBA adalah jalan terjal yang membuatnya perlu berusaha lebih keras dari orang lain. Pada awal karirnya di sana, misalnya, ia kerap kali berada di belakang yang lain. Ketika Phoenix Suns merekrutnya lewat NBA Draft 1996, Nash lebih sering tampil sebagai seorang pelapis daripada seorang inovator pertandingan seperti dikenal saat ini. Ia sebatas berperan sebagai role player (pemain pengganti) di antara garda utama berkelas bintang seperti Kevin Johnson dan Jason Kidd.

Jika melihat awal karirnya yang demikian itu, meminjam kalimat Gabriel Sindhunata yang membandingkan pesepak bola Franz Beckenbauer dengan Berti Vogts, Nash merupakan “pegawai negeri” di antara para “kaisar”. Para penggemar Suns sangat mengetahui itu sehingga meneriakinya saat terpilih di urutan 15 putaran pertama NBA Draft 1996.

Ketika Nash datang ke Phoenix, bagaimanapun, Kevin Johnson adalah seorang tiga kali All-Star (1990, 1991, dan 1994) dan Most Improved Player of the Year 1989. Sementara itu, Jason Kidd seorang bintang muda yang sedang naik daun sekaligus Rookie of the Year 1995. Dibanding keduanya, Nash berada jauh di belakang. Ia adalah pemain “tanpa nama”.

Bagaimana tidak memiliki nama, ketika kuliah saja Nash mengalami banyak surat penolakan. Tidak ada kampus yang mau menerimanya. Duke, Indiana, Villanova, Washington—semuanya menolak. Santa Clara mau, tetapi Kepala Pelatih Dick Davey harus terlebih dahulu menyebutnya sebagai pemain bertahan terburuk yang pernah ia lihat.

Ketika sekolah di kampung halamannya di Victoria, British Columbia, tidak ada orang yang mengira nama Nash akan sebesar sekarang. Ian Hyde-Lay, pelatihnya ketika SMA, juga tidak berpikir ke arah sana.

“Tidak ada yang mengira,” kata Hyde-Lay, dikutip dari Bay Today. “Tapi, yang jelas ia memang istimewa.”  

Ketika NBA Draft 1996, Suns juga hampir melewatkan Nash. Para pencari bakat lebih menyarankan mereka untuk mengambil Joe Wallace. Namun, Donnie Nelson, asisten pelatih Suns kala itu, berhasil meyakinkan tim supaya memilih Nash. Maka, jadilah ia terbang dari Santa Clara ke Phoenix.

Nash kemudian menghabiskan dua musim pertamanya di NBA bersama Suns sebagai pemain pengganti. Di musim perdana, ia tampil sebanyak 65 kali dengan hanya 2 kali menjadi pemain utama (starter). Ia mencetak rata-rata 3,3 poin, 2,1 asis, dan 1 rebound per pertandingan. Nash mengalami peningkatan di musim kedua. Ia tampil sebanyak 76 kali dengan 9 kali menjadi pemain utama. Ia rata-rata mencetak 9,1 poin, 3,4 asis, dan 2,1 rebound per pertandingan.

Kehidupan Nash mulai berubah ketika Don Nelson, kepala pelatih Dallas Mavericks sekaligus ayah Donnie Nelson, tertarik merekrutnya. Saat itu Nellie—sapaan akrab Don Nelson—menukar Bubba Wells, Martin Muursepp, Pat Garrity, dan hak pilih putaran pertama untuk mendapatkan Nash.

Di bawah asuhan Nellie, Nash menjadi orang yang berbeda. Ia mendapat dukungan penuh dari Pelatih untuk memimpin tim sebagai tangan kanannya. Nash pun berkembang dan menjelma pemain yang mulai diperhatikan perannya di Mavericks. Apalagi rekan-rekannya seperti Dirk Nowitzki dan Michael Finley juga membuatnya tampak hebat.

“Nellie sangat keras pada saya, tetapi dia juga memercayai saya,” ujar Nash kepada Marc Stein, New York Times, lewat sambungan telepon. “Ia memercayai saya lebih dari saya memercayai diri sendiri.”

Nash mengaku, Nellie memintanya untuk mencetak angka meski pada dasarnya ia merupakan tipe pemain yang lebih mengutamakan asis (assist first). Secara alami, katanya, tugasnya hanya mengoper, mengoper, dan mengoper. Namun, Nellie bersikeras memintanya mencetak poin atau ia tidak dimainkan sama sekali. Pada akhirnya, Nash pun mencoba peruntungannya—dan berhasil!

Nash membela Mavericks selama enam tahun. Selama itu pula, ia telah membuktikan dirinya sebagai seorang pekerja keras. Ia berhasil menampilkan dirinya sebagai seorang bintang lapangan; seorang pemimpin yang dapat dipercaya; juga seorang pemain tidak egois yang seringkali membantu pemain lainnya mengembangkan permainan. Selama enam tahun bersama Mavericks, ia rata-rata mencetak 14,6 poin, 9,4 asis, dan 3,1 rebound per pertandingan. Ia bahkan masuk ke jajaran All-Star dua kali beruntun pada 2002-2003.  

Seiring perkembangannya, Nash juga mulai menua. Usianya sudah mencapai 30 di tahun terakhirnya bersama Mavericks pada 2004. Mark Cuban, pemilik Mavericks, tidak mau mengambil resiko mengontraknya terlalu lama. Ia menawarkan kontrak empat tahun senilai AS$9 juta. Sementara itu, Suns—yang mulai melirik Nash kembali—menawarkan kontrak dengan durasi lebih lama dan nilai lebih besar.

Nash sempat melakukan negosiasi agar Mavericks mau mempertahankannya. Ia meminta Cuban untuk mengajukan tawaran yang sama. Namun, Sang Pemilik ternyata menolak itu karena ingin membangun tim dengan Nowitzki yang lebih muda sebagai bintangnya, sehingga Nash harus kembali ke Suns.

Sekembalinya ke Phoenix, tidak seperti di dua musim pertamanya, Nash langsung menjadi pemain utama di bawah asuhan Kepala Pelatih Mike D’Antoni. Ia bahkan secara mengejutkan dapat membawa Suns—yang musim sebelumnya terpuruk—menjadi tim yang ditakuti. Ia menjadi seorang pemimpin yang mampu bekerja sama dengan pemain yang lebih muda seperti Shawn Marion, Joe Johnson, dan Amar’e Stoudemire. Mereka pun memenangkan 60 dari total 80 pertandingan dan menempati peringkat pertama di Wilayah Barat. Sayangnya, mereka harus puas berhenti di final wilayah karena kalah 1-4 oleh San Antonio Spurs di playoff.

Namun begitu, Nash tetap mendapat ganjarannya. NBA menganugerahinya dengan gelar pemain terbaik (MVP) 2005. Hal itu sekaligus menjadi pelajaran bagi seorang Mark Cuban karena telah memilih jalan yang salah dengan tidak menawarkan kontrak yang lebih baik untuk Nash.

“Saya memetik pelajaran berharga,” kata Cuban kepada Rolling Stone pada 2014 silam. “Saya membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menyadari bahwa untuk beberapa manajer, tugas nomor satu bukanlah memenangkan kompetisi, tetapi mempertahankan pekerjaan mereka. Sangat mudah melihat kesalahan saya sekarang. Saya berharap saya cukup pintar untuk mengetahui yang lebih baik waktu itu. Saya suka mengambil resiko untuk menang. Sayangnya, beberapa dari kita tidak memiliki kemampuan itu sebagaimana harusnya.”

Ketika Cuban menyadari kesalahannya, Nash sudah berkembang lebih jauh dalam karirnya. Pada 2006, misalnya, ia kembali membuat Suns menjadi tim yang mesti diperhitungkan. Apalagi saat itu Nash menyabet lagi gelar pemain terbaik NBA, sehingga ia mendapatkannya dalam dua musim beruntun. Namun, sayangnya, selama karirnya bersama Suns, ia selalu terhenti di playoff dan tidak pernah merengkuh gelar juara. Dari seorang “pagawai negeri”, ia mentok menjadi “kaisar” tanpa mahkota.

Sebelum sempat mendapatkan gelar juara, Nash sudah terlalu tua dan mengalami masalah pada punggungnya. Ia memang seorang legenda, tetapi punggungnya sudah bukan yang dulu lagi dan sulit diajak kompromi. Saat itulah ia memutuskan untuk pindah ke Los Angeles Lakers dengan alasan kesehatan.

Nash bermain untuk Lakers selama dua musim. Ia bermain bersama Kobe Bryant dan Dwight Howard. Mereka disebut-sebut akan menjadi tim hebat, tetapi kenyataannya tidak sehebat itu. Nash mengalami cedera, dan hanya tampil 50 kali di musim pertamanya. Lakers juga gagal merengkuh gelar juara.

Di musim kedua, ia bahkan hanya tampil 15 kali karena cedera lainnya. Pada titik itu, usia ternyata sudah tidak bisa berbohong lagi. Ia memerlukan istirahat panjang. Akibatnya, setelah itu, Nash pun memutuskan berhenti bermain. “Saya pensiun,” katanya, seperti ditulisnya di The Players’ Tribune, padahal Nash merasa takut untuk mengakhiri karir, sebenarnya.

Namun, hidup memang harus berlanjut, terutama karena ia juga sudah melakukan hal-hal luar biasa dalam karirnya. Bagaimanapun, selama 18 tahun di NBA, ia telah menjelma pemain bintang yang bertabur prestasi, termasuk menjadi pengumpul asis terbanyak ketiga sepanjang masa (10.335 asis). Pada 2015, ia harus meninggalkan pekerjaannya selama belasan tahun untuk mengejar mimpinya yang lain.

Kini, Nash sudah punya pekerjaan lagi. Selepas pensiun, Golden State Warriors merekrutnya menjadi konsultan. Ia melatih pemain-pemain seperti Stephen Curry, Klay Thompson, bahkan Kevin Durant untuk merengkuh gelar juara tiga kali dalam empat musim terakhir. Selain itu, ia juga memiliki pekerjaan lain sebagai seorang jurnalis sepak bola bersama Bleacher Report. Sepak bola memang sudah menjadi olahraga favoritnya sejak kecil. Ia bahkan mengenal sepak bola lebih dulu daripada olahraga lainnya. Maka, dengan pekerjaan-pekerjaan itu, ia pun tetap punya kesibukan dan tengah menggapai mimpi-mimpinya yang lain, di samping sudah menjadi Hall of Famer. 

 

Baca juga kisah Hall of Fame 2018 lainnya:

Jason Kidd, Legenda NBA yang Hampir Berhenti Basket

Steve Nash, Dari Medioker ke Jajaran Hall of Famer

Grant Hill dan Karir Basket yang Tidak Sempurna

Tina Thompson, Draft Pick Pertama dalam Sejarah WNBA

Ratu Tenis Jadi Juara Basket Perempuan 12 Kali

 

Foto: NBA.com

Populer

Luka Doncic Merasa Tidak Enak dengan Kyrie Irving
Timberwolves vs Suns 4-0, KD dan Ant-Man Saling Lempar Pujian
Frank Vogel Berlindung Di Balik Nama Mat Ishbia
LeBron James Tidak Ingin Menyerah Begitu Saja dari Nuggets
Kondisi Zion Williamson Membaik, Tapi Pelicans Sudah Tertinggal 0-3 dari Thunder
Pelajaran yang Dipetik Nikola Jokic dari Pacuan Kuda
Pelatih Timberwolves Chris Finch Cedera Lutut Usai Ditabrak Mike Conley
Era Keemasan Thunder Kembali, Mark Daigneault Jadi Pelatih Terbaik Tahun Ini
Timberwolves Sapu Bersih Suns
Lakers Memperpanjang Nafas