Industri dan Prestasi Olahraga Kita

| Penulis : 

Kansas City Chiefs, Erick Thohir, Pramono Anung, Azrul Ananda, Widiyanti Putri Wardhana, Dony Oskaria, dan Alasan-Alasan Kenapa Olahraga Kita Lebih Baik Fokus ke Industri saja daripada Prestasi.

Beberapa hari yang lalu, seorang kawan mengirimkan sebuah tautan berita (video). Isinya tentang tim sepakbola amerika (NFL) Kansas City Chiefs yang akan pindah rumah. “Hmm. Menarik,” pikir kami.

Chiefs rencananya akan meninggalkan markas mereka saat ini, Arrowhead Stadium di Missouri. Pindah ke arena baru di Kansas. Arena baru yang kabarnya akan dibangun dengan nilai 2 miliar dolar (dalam pemberitaan lain disebutkan 3 miliar dolar) dan akan rampung pada tahun 2031.

Kami punya sedikit cerita menarik tentang Chiefs dan Arrowhead Stadium. Kami pernah ke sana beberapa tahun lalu, menyaksikan langsung pertandingan NFL Kansas City Chiefs. Nanti kami ceritakan di bagian akhir tulisan ini.

Industri olahraga Indonesia

Tepat satu hari sebelum kawan kami itu mengirimkan berita rencana kepindahan markas Chiefs, Menpora Erick Thohir mengunggah sesuatu di akun instagramnya. Menurut kami cukup menarik. Ia baru menandatangani nota kesepahaman dengan Menpar Widiyanti Putri Wardhana. Sesuatu tentang industri olahraga Indonesia. Berikut takarir lengkapnya:

"Hari ini saya bersama Menteri Pariwisata, Ibu Widiyanti Putri Wardhana, menandatangani Nota Kesepahaman antara Kementerian Pemuda dan Olahraga dengan Kementerian Pariwisata.

 Sesuai arahan Bapak Presiden Prabowo Subianto, sinergi antar-kementerian menjadi kunci agar anggaran negara dapat digunakan secara efektif, efisien, dan tepat sasaran. Melalui MoU ini, kami berkolaborasi untuk memperkuat industri olahraga, khususnya dalam mendorong pertumbuhan sports tourism di Indonesia.

Dengan memadukan potensi besar pariwisata nasional dan penyelenggaraan event olahraga bertaraf nasional hingga dunia, kita bersama-sama membangun sports tourism sebagai kekuatan baru dalam mendukung ekonomi Indonesia."

Industri olahraga. Dua kata yang malang-melintang dalam beberapa tahun terakhir. Dulu, atau bagi kami setidaknya di dua dekade lebih lalu, obrolan tentang olahraga di Indonesia lebih banyak berkisar di seputar prestasi dan penyelenggaraan. “Industri olahraga” seakan menjadi istilah baru yang mengedepan setelah itu.

Industri olahraga? Pada dasarnya, ia adalah semua kegiatan atau hitungan ekonomi di seputar kegiatan olahraga. Mulai dari penyelenggaraan kegiatan olahraga itu sendiri, jual-beli produk-produk pendukungnya, pemanfaatan fasilitas, dan lain-lain. Sesuatu yang kemudian salah satu aspeknya dibahas (lebih kepada diperkenalkan) di Indonesia Sport Summit 2025, 6-7 Desember lalu, di Indonesia Arena, GBK, Jakarta.

Pada kegiatan tersebut, Menpora dan beberapa menteri terkait tampil menjadi pembicara kunci. Beberapa sosok praktisi dan pemangku kebijakan juga memberikan pandangannya.

Salah satunya adalah Dony Oskaria, Direktur Operasional (COO) Danantara. Dony kurang lebih menyatakan bahwa nilai-nilai ekonomi terkait sebuah olahraga pada dasarnya bisa diukur. Nilai-nilai ekonomi yang mampu memberi manfaat tak hanya bagi olahraga itu sendiri, tetapi kepada masyarakat luas sekaligus. Termasuk bagi negara.

Sebagai dasar pemikiran, hal tersebutlah yang sepertinya ingin di-“gas” oleh Erick Thohir. Olahraga Indonesia memberikan dampak ekonomi yang signifikan bagi bangsa.

Kami, setuju.

Kalau begitu, ayo segera kita laksanakan!

Andai ia memang semudah itu. Tetapi rasanya, ia memang semudah itu. Tinggal kita mau atau tidak. Pernyataan serupa yang juga dilontarkan oleh Erick Thohir di Indonesia Sport Summit 2025. Tetapi juga, untuk jadi semudah itu, ada beberapa hal yang menurut kami harus lebih dulu dibenahi. Salah satunya adalah pola pikir (mindset).

Menurut pengalaman kami, sadar atau tidak, ranah olahraga Indonesia sebenarnya sedang menuju ke sana. Menuju pembangunan industri olahraga. Atau bahkan sebenarnya sedang menjalankannya. Walau rasanya, tidak banyak atau belum banyak yang benar-benar menyadari hal ini. Pemerintah sendiri belum benar-benar tegas mencanangkannya.

Pencanangan dan perencanaan perlu dilakukan. Keduanya akan memberi arahan jelas mau dibawa ke mana olahraga Indonesia.

Industri atau prestasi

“Olahraga Indonesia, antara Industri dan Prestasi”. Tadinya ini mau kami jadikan judul utama.

Memajukan olahraga Indonesia, mana yang lebih penting, memajukan industrinya atau prestasinya? Kita ingin memajukan industrinya. Tetapi kita juga kerap ribut menginginkan prestasinya.

Alih-alih harus memilih industri atau prestasi, seharusnya memang industri dan prestasi. 

Sebelum ke sana, ada beberapa fenomena di beberapa waktu di tahun 2025 yang akan berlalu ini (atau sudah berlalu, bagi yang membaca di tahun 2026) yang sangat-sangat menarik perhatian kami terkait industri dan atau prestasi ini. Naturalisasi pemain-pemain nasional sepakbola Indonesia, jumlah pemain asing di liga sepakbola Indonesia, jumlah pemain asing di IBL 2026, DBL, Indonesia Sport Summit 2025 (event internasional dan lari-lari), dan prestasi SEA Games 2025 (prestasi tanpa kompetisi, basket 3x3 putri).

Kita bahas singkat satu-satu.

Naturalisasi pemain-pemain sepakbola

Dari data yang kami himpun, sejak menjadi ketua umum PSSI, Erick Thohir setidaknya sudah menaturalisasi 19 pemain untuk kebutuhan tim nasional sepakbola Indonesia. Baik untuk tim senior maupun tim kelompok umur (junior). Alasan diambilnya langkah ini macam-macam. Alasan yang tampaknya paling nyata adalah meningkatkan kualitas performa. Demi mampu bersaing di level papan atas dunia. Demi lolos ke piala dunia. Kuat unsur mengejar prestasinya.

Sayangnya, lolos ke Piala Dunia 2026 tidak berhasil. Namun ada dampak lain yang juga terlihat dari gelombang naturalisasi tersebut.

Antusiasme masyarakat dalam mendukung tim nasional semakin luar biasa. Dalam laga-laga penting, khususnya yang terkait kualifikasi piala dunia dan digelar di Indonesia, penonton membludak. Jumlah penonton rata-rata di GBK saat Indonesia melakoni laga-laga FIFA bisa mencapai lebih dari 60.000 penonton per gim. Laga kualifikasi piala dunia Indonesia melawan Australia di GBK 10 September 2024 dihadiri oleh lebih dari 70.000 penonton. Dalam satu dan lain hal, aspek industri dari langkah ini sepertinya cukup sukses. Merujuk kata-kata Dony Oskaria di Indonesia Sport Summit 2025, dampak ekonominya bisa dihitung.

Namun sepertinya, naturalisasi pemain nasional sepakbola lebih mengedepankan aspek prestasi. Belum ada atau tidak ada obrolan yang benar-benar mengarahkan hal ini ke arah industri. Obrolan seputar timnas sepakbola lebih banyak ke arah pelatih baru. Ke arah prestasi. Walau dampak industrinya juga sangat terasa.

Pemain asing di Super League

Mulai musim 2025-2026, liga sepakbola tertinggi Indonesia yang kini punya nama Super League atau I.League punya aturan baru. Aturan mengenai jumlah pemain asing.

Setiap tim boleh punya 11 pemain asing. Boleh mendaftarkan 9 di antaranya ke dalam skuad yang bertanding. Boleh memainkan 7 di antaranya secara bersamaan. Ada pula kewajiban untuk memainkan satu pemain u-23 minimal 45 menit dalam satu laga.

Volume pemain asing di Super League kabarnya juga bertujuan untuk menaikkan nilai liga di mata para sponsor. Ketika banyak pemain asing yang tampil, harapan jumlah pemirsa siaran makin bertambah. Apalagi jika liga kemudian bisa menarik nama-nama besar di dunia sepakbola internasional. Sangat mungkin para penonton makin antusias ke arena atau menyaksikan di layar.

Langkah Super League ini bagi kami sangat mengedepankan sisi industri. Sementara pada saat yang sama, para fan sepakbola sepertinya mempertanyakan bagaimana langkah tersebut bisa mengangkat prestasi (kualitas) para pemain lokal.

Pada titik ini, derasnya naturalisasi pemain untuk tim nasional dan dan jumlah pemain asing yang boleh main di Super League seolah menjadi langkah ekstrem yang bertolak belakang. Satunya prestasi. Satunya lagi industri.

Pemain asing di IBL

Hal yang hampir serupa juga diterapkan di IBL. Pada musim 2026, IBL membolehkan setiap tim untuk punya 3 pemain asing. Ketiganya boleh bermain bersamaan di lapangan. Sebanyak 2 pemain asing maksimum bertinggi 200 cm. Sementara 1 lagi bebas. Mirip dengan di sepakbola, IBL mewajibkan setiap klub mendaftarkan masing-masing 2 pemain U-23 di dalam skuadnya, dan wajib memberikan menit bermain. Minimal 5 menit per pertandingan.

Kepala Pelatih Satria Muda Djordje Jovicic dalam keterangan pers di Bandung, 1 Desember lalu menyatakan bahwa aturan tersebut mungkin akan baik bagi liga, tetapi akan kurang baik bagi basket internasional (tim nasional).

Saat publik menantikan atau menerjemahkan liga sebagai kawah candradimuka peningkatan prestasi basket Indonesia, IBL sepertinya lebih mengarahkan liga ke arah industri.

DBL

Kompetisi basket antarpelajar ini menjadi satu-satunya entitas besar olahraga Indonesia yang dengan gamblang menegaskan bahwa mereka lebih mengedepankan industri di atas prestasi.

"Partisipasi adalah income. Prestasi adalah cost. Jika partisipasi terus dikembangkan, maka partisipasi akan membiayai prestasi.”

Kredo tersebut tertulis besar di dalam kantor DBL di Surabaya. Pencetusnya adalah CEO DBL Azrul Ananda.

Konsistensi memegang teguh semangat inilah yang akhirnya membuat DBL menjadi kompetisi basket terbesar di Indonesia. Satu-satunya kompetisi basket di Indonesia yang bisa menggelar pertandingan di Indonesia Arena dan mengukir rekor lebih dari 15.000 penonton dalam satu gim (Final DBL Jakarta 2025, 21 November).

Gemerlap penyelenggaraan DBL uniknya justru memicu dan memacu para pemain dan pelatih di Indonesia untuk bisa mengejar prestasi. Banyak pemain-pemain basket terbaik Indonesia muncul dari kompetisi DBL.

Indonesia Sport Summit 2025

Kami sangat antusias mengikuti kegiatan ini.

Kegiatan inilah yang kemudian memantik pemikiran di kami, “Industri olahraga seharusnya bisa menjadi salah satu strategi nasional dalam meningkatkan ekonomi Indonesia.”

Kami mendengarkan para pembicara kunci. Rasanya tak satupun membahas prestasi. Hampir semuanya membahas industri. Tentang potensi ekonomi olahraga dan kegiatan olahraga di Indonesia. Bagi kami, ini merupakan paparan besar pertama olahraga Indonesia di mana para pembicara sama sekali tidak menyinggung masalah prestasi. Ini tentang industri olahraga.

Setidaknya ada lima pembicara kunci yang bagi kami memberi gambaran jelas betapa industri olahraga Indonesia memang harus segera dibesarkan. Mereka adalah COO Danantara Dony Oskaria, Gubernur DK Jakarta Pramono Anung, Menpar Widiyanti Putri Wardhana, CEO DBL Indonesia Azrul Ananda, dan Menpora Erick Thohir.

COO Danantara Dony Oskaria menjelaskan bahwa dampak ekonomi sebuah kegiatan olahraga bisa diukur dengan tiga cara. Pertama melalui hasil langsung kegiatan tersebut. Untung atau rugi. Kedua melalui nilai ekonomi yang memengaruhi kegiatan-kegiatan di sekitar itu. Ketiga, nilai promosi atau nation branding Indonesia di dunia.

Dony Oskaria menegaskan pentingnya kehadiran negara melalui Kemenpora, Kemenpar, Danantara hingga swasta dalam mengejar keuntungan ini, bahkan merumuskannya menjadi sebuah strategi nasional. Dalam paparan Dony, ia menyoroti tentang kegiatan-kegiatan olahraga kelas dunia yang didatangkan ke Indonesia.

Hal senada juga dijelaskan oleh Gubernur DK Jakarta Pramono Anung. Namun Pramono lebih menyoroti kegiatan-kegiatan olahraga lokal yanng justru bisa mendunia. Ia menyoroti kegiatan-kegiatan lari di Indonesia, khususnya di Jakarta.

Saat ini, Jakarta sudah menjadi penyelenggara dua lomba lari yang sangat besar. Jakarta Running Festival dan Jakarta International Marathon. Keduanya sudah mampu menyedot masing-masing 30.000 peserta di tahun 2025 saja. Gubernur Pramono Anung mengatakan bahwa ia siap membantu penyelenggara untuk menyukseskan kedua acara tersebut agar kelak mampu menjadi salah satu ajang World Marathon Majors. Serta juga mengejar masing-masing 50.000 peserta pada ulang tahun Jakarta yang ke-500 di tahun 2027 nanti.

Menpar Widiyanti Putri Wardhana tampak bersemangat melihat kegiatan-kegiatan olahraga sebagai salah satu kegiatan pariwisata. Sesuatu yang ingin ia galakkan demi mengeruk lebih banyak devisa. Semakin banyak kegiatan olahraga diadakan di Indonesia, semakin banyak wisatawan yang mengunjungi Indonesia.

CEO DBL Indonesia Azrul Ananda menceritakan pengalaman suksesnya membesarkan kompetisi DBL. Beberapa statistik penting dalam perkembangan DBL ia tampilkan di layar besar. Sementara Menpora Erick Thohir, yang tampil sebagai pembicara pembuka, selain menampilkan data-data nilai ekonomi kegiatan-kegiatan olahraga dunia, juga menegaskan bahwa sebenarnya Indonesia bisa kalau memang mau mengejar itu semua.

Prestasi SEA Games 2025

Indonesia sukses merebut peringkat kedua dengan 333 medali di SEA Games 2025 di Thailand. Lebih rincinya, 91 emas, 111 perak, 131 perunggu.

Sepakbola Indonesia, putra dan putri pulang tanpa medali. Bolabasket putra dan putri berhasil merebut medali perunggu.

Bolabasket 3x3 putri sukses meraih emas. Sementara bolabasket 3x3 putra pulang tanpa medali. Voli putra secara dramatis meraih medali perak. Sementara voli putri mempertahankan tradisi medali dengan meraih prunggu.

Sejarah baru di futsal. Futsal putra sukses meraih emas. Futsal putri meraih perak.

Dari beberapa contoh raihan tersebut, kami melihat satu hal menarik. Pertama, gemerlap penyelenggaraan dan besarnya anggaran belum tentu berbanding lurus dengan prestasi. Kedua, prestasi dan industri ini tampaknya memang harus dikelola dengan fokus masing-masing.

Kembali ke Kansas City Chiefs

beberapa hari yang lalu, seorang kawan mengirimkan sebuah tautan berita (video). Isinya tentang tim sepakbola amerika (NFL) Kansas City Chiefs yang akan pindah rumah. “Hmm. Menarik,” pikir kami.

Chiefs rencananya akan meninggalkan markas saat ini, Arrowhead Stadium di Missouri. Pindah ke arena baru di sekitar Kansas-Missouri. Arena baru yang kabarnya akan dibangun dengan nilai 3 miliar dolar dan akan rampung pada tahun 2031.

Rencana perpindahan ini juga diumumkan langsung oleh Gubernur Kansas Laura Kelly. Hal menarik dari pernyataan Kelly adalah bahwa pembangunan arena baru untuk Chiefs adalah sebuah investasi. Investasi bersama.

Menurut Kelly, kehadiran arena baru nanti akan memberikan dampak ekonomi luar biasa. Ia akan menghadirkan lebih dari 20.000 lapangan kerja baru serta dampak ekonomi senilai lebih dari 4 miliar dolar. Bisa lebih dari 1 miliar dolar per tahun saat nanti sudah berjalan. Dalam kesempatan terpisah, salah satu petinggi pemerintah Kansas mengatakan bahwa investasi pembangunan arena baru untuk Chiefs ini adalah investasi terbesar dalam sejarah negara bagian Kansas.

Kami beruntung pernah menonton langsung pertandingan Kansas City Chiefs di Arrowhead Stadium di Missouri. Waktu itu tahun 2016. Satu tahun sebelum pemain fenomenal Patrick Mahomes bergabung dengan Chiefs. Sebagai bukan benar-benar pemerhati NFL, kami seperti meme Leonardo DiCaprio yang menunjuk-nunjuk layar tv ketika melihat Mahomes naik daun dan membawa Chiefs berjaya. “Lah, itukan tim yang kami tonton tahun lalu!”

Oleh karena pernah menyaksikan langsung Chiefs di Arrowhead, kami sedikit-banyak jadi bisa membayangkan bagaimana besarnya industri olahraga (NFL) di Amerika Serikat sana.

Waktu menyaksikan Chiefs di Arrowhead, sekitar 4 jam sebelum pertandingan, kami sudah tiba di sekitar lokasi. Ketika kami mengatakan “sekitar”, itu jaraknya memang masih sekitar 2 kilometer dari arena. Arena-parkiran-jalan tol-pemukiman warga.

Lapangan parkir yang begitu luas, penuh. Berapa luas parkirannya? Luas sekali. Kabarnya, itu adalah arena dengan lapangan parkir terluas di dunia. Area markas Chiefs memiliki luas sekitar 150 hektar. Sebagian besarnya adalah parkiran luas beraspal. Mampu menampung 26.000 mobil. Dan saat kami tiba, parkiran penuh. Sulit sekali mencari parkir. Sepanjang jalan (kiri-kanan) menuju arena juga sudah menjadi parkir liar dan juga penuh. Kami parkir di salah satu rumah warga. Itu pun hampir penuh. Sewa parkirnya puluhan dolar saat itu. Bayar di muka.

Salah satu keunikan yang kami ingat sampai sekarang adalah tidak adanya penjual makanan di luar arena. Tidak ada. Setidaknya tidak ada di dalam jangkauan petualangan kami mengelilingi arena mencari makanan sebelum pintu stadion dibuka. Makanan hanya dijual di dalam arena.

Ada yang unik. Orang-orang Amerika Serikat ini punya tradisi unik. Berjam-jam menunggu di luar arena, mereka membawa makanan, alat masak dan alat makan, tenda, kursi, dan meja sendiri. Selain ribuan mobil, ada ribuan dapur tenda dan tanpa tenda di belakang mobil masing-masing. Tailgating. Tailgating party. Mereka berkumpul, bakar-bakaran (barbeque) di belakang mobil masing-masing.

Masuk ke dalam arena, makanan baru tersedia. Gerai paling ramai bukan makanan. Bir. Bintik-bintik salju memang sudah hadir waktu itu. Pertandingan super dingin.

Pengalaman menyaksikan langsung pertandingan Chiefs ini memberikan kami gambaran kasar tentang nilai ekonomi sebuah gelaran olahraga. Khususnya di Amerika Serikat sana. Silakan hitung atau bayangkan sendiri. Datang ke arena, bayar parkir bisa lebih dari 50 dolar per mobil (kapasitas parkir 26.000 mobil). Harga tiket termurah bisa mencapai 100 dolar. Beli makanan dan atau minuman di dalam arena sekitar 20-an dolar per porsi.

Hampir semua penonton yang datang menggunakan pernak-pernik yang melambangkan dukungan kepada Chiefs. Mobil-mobil membawa panji dan bendera Chief. Stiker-stiker, spanduk, syal, kaus, topi, topi, kupluk, dan pastinya jersei tim ada di mana-mana. Jadi masuk akal bila memang nilai ekonominya bisa tembus jutaan hingga miliaran dolar. Bayangkan jika di parkiran ada yang jualan makanan!

Itu baru satu gim. Ada total 272 gim di musim reguler NFL. Belum termasuk playoff dan final (Super Bowl) yang dahsyatnya luar biasa. Itu baru sepakbola amerika alias NFL. Belum termasuk NBA, MLB, NHL, Nascar, F1, hingga MLS yang semakin naik daun.

Setelah menyaksikan Chiefs di Arrowhead Stadium, besoknya kami menyaksikan laga sepakbola amerika lainnya. Kansas Jayhawks versus Texas Longhorns. Bukan NFL, tetapi NCAA. Kompetisi antarkampus atau universitas. Juga ramai sekali. Arenanya lebih kecil di dalam komplek kampus University of Kansas. Tak sebesar NFL, tetapi penonton yang datang pun ribuan.

Setelah mengingat kembali pengalaman menyaksikan langsung Kansas City Chiefs di tahun 2016, menghadiri Indonesia Sport Summit 2025, mengikuti ranah basket Indonesia dengan intensif, dan mengikuti perkembangan cabang-cabang olahraga lainnya di Indonesia, kami rasa, memang sudah saatnya negara ini fokus mengembangkan industri olahraga. Menjadikannya sumber pendapatan negara dan masayarakat yang besar dan terukur. Bila boleh berangan-angan, bahkan bersaing dengan sektor industri manufaktur, perdagangan, keuangan, dan juga pertambangan.

Ayo jadikan pembangunan industri olahraga sebagai salah satu strategi nasional. Kami jadi ingat Korea Selatan yang merancang K-Pop sebagai strategi nasional yang akhirnya sukses. Sukses sebagai industri hiburan, sukses pula sebagai aset ekonomi nasional dan mengangkat nama negara di dunia.

Apabila kita fokus ke industri, bagaimana nasib prestasi olahraga kita?

Kami mendukung bahwa industri harus menjadi prioritas. Tetapi dengan segala upaya, prestasi pun tak boleh seolah menjadi nomor dua.

Mengejar prestasi dan membangun industri, menurut kami adalah dua hal yang berbeda. Ada persilangan atau irisan, tetapi tak sebesar porsi masing-masing. Prestasi adalah masalah disiplin seorang atlet dalam mengembangkan diri. Bentuknya adalah meningkatkan kemampuan melalui latihan, kemudian berlomba atau bertanding. Pada dasarnya ia membutuhkan ilmu pengetahuan yang canggih demi mencapai hasil terbaik. Baik dalam bentuk ilmu teknis olahraganya, kepelatihan, nutrisi, dan beberapa faktor pendukung prestasi lainnya.

Seperti yang kami katakan sebelumnya, SEA Games memberikan pelajaran berharga. Sepakbola industri penyelenggaraannya hingar-bingar. Tetapi tidak mendapatkan medali apapun. Basket putri 3x3 yang tidak punya liga atau kompetisi yang teratur mendapatkan emas.

Lihat pula emas-emas dan medali-medali lain yang diraih cabor-cabor lainnya. Sebagian besar tidak atau belum benar-benar punya industri besar di belakangnya. Prestasi tumbuh tanpa dukungan industri.

Prestasi tanpa industri yang besar di belakangnya memang sangat mungkin tercapai. Misalnya lagi adalah angkat besi. Cabor yang rajin menyumbang medali olimpiade. Atau beberapa cabor yang mendapat emas SEA Games 2025 seperti panahan, wushu, olahraga panjat, dan lain sebagainya. Mereka tak punya industri penyelenggaraan yang mewah atau heboh. Tetapi prestasinya luar biasa.

Atletik memberi 9 emas untuk Indonesia di SEA Games. Sebanyak 2 di antaranya adalah maraton putra dan putri. Bila diteliti lebih dalam, mungkin ada relasi yang kuat antara prestasi tersebut dengan maraknya lomba maraton di dalam setahun di seluruh Indonesia. Prestasi di cabor ini bisa saja terus meningkat. Akan sangat menarik bila kelak melihat ada atlet Indonesia yang berhasil menjadi juara di kejuaraan maraton dunia atau bahkan olimpiade. Seiring berjalan, industri olahraga lari di Indonesia juga semakin meroket.

Industri olahraga pada dasarnya tak perlu pusing-pusing memikirkan prestasi atlet atau pesertanya. Ia harus punya dasar pemikiran (mindset) yang berbeda.

Industri olahraga lebih fokus kepada penyelenggaraan yang sangat baik. Bagaimana caranya mengundang sebanyak mungkin penonton atau pemirsa untuk menyaksikannya. Bahkan ketika kualitas atau prestasi para atletnya tidak hebat-hebat amat.

Industri olahraga berkonsentrasi kepada kepuasan pemirsa yang terkonversi menjadi angka-angka ekonomi. Berakar pada penyelenggaraan yang baik, kemudian disusul pada penularan aktivitas olahraga itu sendiri kepada masyarakat.

Masyarakat yang kemudian mengonsumsi segala hal terkait olahraga tersebut. Mulai dari membeli sepatu, pakaian, dan peralatan olahraga. Menyewa lapangan basket, sepakbola, tenis, padel, kolam renang, dan lain sebagainya. Hingga membayar biaya keikutsertaan event-event massal seperti lomba lari jarak menengan, maraton, bahkan ultra-maraton.

Pada kegiatan-kegiatan besar seperti maraton-maraton besar nasional di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Brobudur, Surabaya, Bali, hingga Lombok, ada lebih banyak lagi faktor-faktor ekonomi terkait yang bisa dihitung. Termasuk tentu saja kegiatan-kegiatan internasional seperti pertandingan sepakbola tim-tim luar negeri di Indonesia, ajang balap motor internasional, dan kejuaraan-kejuaraan dunia lainnya.

Bila akhirnya, melalui Indonesia Sport Summit 2025 lalu Menpora menyadari besarnya potensi industri olahraga Indonesia, maka sepertinya sudah saatnya hal tersebut mendapatkan perhatian yang betul-betul serius. Menghitung potensi nilai ekonominya, mendorong segala bentuk penyelenggaraan, mendukung segala kemudahan, mengatasi segala tantangan, untuk kemudian benar-benar menjadikannya salah satu industri yang bisa diandalkan untuk kontribusi kemajuan Indonesia.

Selamat tahun baru 2026. Maju terus olahraga Indonesia! Industri dan prestasinya.(*)

Populer

Stadion Pindah (Wani Piro)
Draymond Green dan Steve Kerr Sepakat Mengakui Dinasti Warriors Memudar
Sama-sama 41 Tahun, JJ Redick Membandingkan Kondisinya dengan LeBron
Kemungkinan Terburuk, Nikola Jokic Bisa Kena ACL
Lewati Kevin Garnett, Stephen Curry Menatap 20 Besar Poin Terbanyak NBA
Pistons Mengalahkan Lakers di Hari Ulang Tahun LeBron James
Bulls Dapat Pukulan Telak Akibat Cedera Josh Giddey
Kemenangan Perdana 76ers Dengan Trio Embiid, Maxey, dan George
League Shift Insane, Buah Kerja Keras Richard Leo Latunusa
Kabar Baik dan Kabar Buruk Cedera Nikola Jokic