Jangan-jangan selama ini langkah Erick Thohir memang tepat. Ide ini muncul beberapa saat setelah kami melihat unggahan di akun instagram @abcindonesia, Rabu, 28 Mei lalu. Sebuah unggahan tentang Sean Putra Susilo. Atlet lari gawang berusia 16 tahun yang lahir dan besar di Australia. Sean memiliki orang tua yang berasal dari Indonesia. Menurut takarir di unggahan tersebut, ratusan medali sudah dikoleksi Sean. Mulai dari kejuaraan lari sekolah hingga kompetisi nasional. Salah satu pencapaian paling membanggakannya adalah mencetak tiga rekor sekaligus di ajang Great Public Schools Track and Field (GPS TNF) Championships 2023, sebuah kompetisi atletik tahunan antarsekolah di Australia.
Pelatih Sean juga muncul di dalam unggahan tersebut. Ia mengatakan bahwa Sean memiliki potensi untuk berlaga di olimpiade. Hal menarik lain dari pernyataan pelatihnya adalah Sean bisa saja kelak mewakili Indonesia atau Australia. Pada Olimpiade Paris 2024 lalu, Australia mengirim satu atlet lari gawang putra Tayleb Willis. Catatan kami, Australia tampaknya memiliki kemampuan dan sarana keilmuan untuk kembali mengirim atlet cabang lari gawang ke olimpiade.
Pernyataan pelatih Sean tentang “Indonesia atau Australia” langsung membawa kami ke tren yang sedang terjadi di ranah sepakbola kita. Tren naturalisasi. Mungkinkah tren ini menular ke cabang-cabang olahraga lainnya? Selain sepakbola, bola basket sudah beberapa kali pula melakukannya dalam lebih dari satu dekade terakhir.
Menggunakan keikutsertaan olimpiade sebagai tolok ukur, prestasi olahraga Indonesia tertinggal. Perahu-perahu yang memuat para kontingen di Olimpiade Paris 2024 adalah indikator gampangnya. Saat para atlet beberapa negara menyusuri sungai Seine naik satu perahu besar dengan rombongan yang banyak, Indonesia ditempatkan di dalam satu perahu kecil bersama India dan Iran. Tiga negara yang volume kontingennya kecil-kecil. Itu baru dalam hal partisipasi, belum prestasi.
Banyak faktor yang membuat prestasi olahraga Indonesia tidak maju atau tidak banyak maju di level atas dunia. Berbagai pihak punya argumentasinya masing-masing. Kami memilih argumentasi kurangnya pengetahuan dan pengaplikasiannya di level pembinaan. Kasarnya, pembinaan kita belum mumpuni. Kita belum mampu. Belum bisa. Penyebabnya adalah minimnya pengetahuan atau keilmuan olahraga. Silakan kalau kawan-kawan punya argumentasi lain. Sah-sah saja. Kelambatan dalam pembinaan atau bahkan ketidaktahuan akan cara yang tepat dan terbaik dalam pembinaan membuat prestasi olahraga kita tertinggal. Tertinggal jauh.
Suka tidak suka, setuju tidak setuju, kami menganggap, itulah yang terjadi di sepakbola kita. Serta juga bola basket. Beberapa pihak mungkin merasa mampu dan bisa. Kami merasa, memang belum ada yang bisa dan mampu.
Kami berpikir, Erick Thohir punya pemikiran yang sama. Ia ingin olahraga Indonesia berprestasi, namun juga melihat ganjalan atau tantangan yang serupa. Sistem pembinaan kita sulit diandalkan. Bedanya dengan kami, dengan posisi dan kekuasaannya, Erick Thohir menemukan celah. Jalan pintas yang bisa dimanfaatkan. Naturalisasi.
Apakah ini benar-benar ide Erick Thohir? Entahlah. Satu hal, kami tak melihat sosok utama tandingan yang begitu getol dalam menaturalisasi atlet sejauh ini selain Erick Thohir, Ketua PSSI yang juga Anggota Dewan Pengurus Pusat FIBA. Demi memuluskan proses Indonesia lolos ke Piala Dunia FIFA, dalam beberapa waktu terakhir, entah sudah berapa banyak pemain yang memiliki ikatan kuat atau berdarah Indonesia (asing) yang dinaturalisasi. Hasilnya? Indonesia masih punya peluang untuk ke Piala Dunia FIFA 2026. Hasil lain yang juga luar biasa menurut kami adalah antusiasme publik dalam menerima hal ini. Langkah yang awalnya cukup kontroversial, kini sudah tampak membanggakan dan dinikmati. Animo menikmati performa Timnas sepakbola semakin tinggi dan euforik.
Bagaimana dengan bola basket? FIBA hanya merestui satu pemain naturalisasi di setiap kompetisi resmi antarnegara. Dengan aturan seketat itu saja, kita masih berhasil meloloskan Brandon Jawato. Pemain diaspora dan naturalisasi Indonesia dari Amerika Serikat ini diakui sebagai pemain lokal oleh FIBA di Piala Asia 2021 (dilaksanakan tahun 2022). Bersama Marques Bolden, kita jadi punya dua pemain naturalisasi di Piala Asia 2022 lalu.
Apakah jalannya benar-benar sudah tertutup di ajang basket FIBA untuk punya satu tim penuh dengan pemain naturalisasi? Tidak juga. Bila niat bulat berprestasi sudah tak terbendung, kita bisa menempuh jalan yang sedikit agak panjang dan makan waktu. Menaturalisasi para pemain muda, termasuk pemain-pemain dari diaspora saat mereka belum berusia 16 tahun. Bila ini sukses, maka kita bisa saja memiliki satu tim dengan pemain-pemain basket naturalisasi sepenuhnya dalam beberapa tahun ke depan. Bayangkan bila “investasi” ini sukses. Mungkin, mungkin kita akan melihat timnas basket kita beberapa tahun ke depan benar-benar merupakan hasil pembinaan dari luar negeri.
Pada posisi pembinaan dan sistem pembinaan olahraga kita yang tertinggal, langkah-langkah Erick Thohir ini kerap dicap sebagai cara instan. Cara yang tidak memedulikan pembinaan di akar rumput. Cara yang menelurkan kekhawatiran, bagaimana apabila Erick Thohir tak lagi menjabat atau kehilangan minat? Mungkintah langkah ini konsisten? Siapa yang mau melanjutkannya?
Tadinya, kami pikir, ide ini memang instan. Namun sepertinya, bukan tidak mungkin, ia bisa dijalankan secara sinambung. Siapapun yang berkuasa atau punya kuasa dalam meningkatkan prestasi olahraga Indonesia selanjutnya dan seterusnya bisa dan boleh menjalankan langkah ini. Pembinaan di ranah lokal ketinggalan zaman. Mengejar ketertinggalan butuh waktu lama dan upaya yang sangat menantang. Jadi cara naturalisasi ini memang opsi yang menggiurkan. Sambil terus membenahi pembinaan di level lokal, anak-anak muda yang kebetulan ada di luar negeri dan ingin berprestasi mengharumkan nama Indonesia kelak di usia emasnya bisa masuk ke langkah ini. Langkah naturalisasi.
Bagaimana dengan asumsi bahwa sangat mungkin mereka tak mau melepas kewarganegaraan asingnya dan berpotensi punya kewarganegaraan ganda? Betul ini menyalahi konstitusi. Namun kami enggan menyentuh aspek ini. Kami bahkan berpikir, dengan mempertimbangkan baik dan buruknya, mungkin tak apa-apa juga dengan status dwi-kewarganegaraan. Siapa tahu pemerintah, parlemen, dan lembaga hukum tertinggi negara bisa mempertimbangkan status dwi-kewarganegaraan istimewa untuk misi-misi khusus olahraga atau apapun. Ini tidak terbatas pada sepakbola dan bola basket saja. Cabang-cabang olahraga lain pun sah-sah saja melakukannya.
Negara-negara lain pun memanfaatkan langkah naturalisasi atlet ini. Namun di level saat ini, Indonesia melangkah lebih jauh. Memanfaatkannya sebaik-baik mungkin untuk keuntungan negara. Jika Anda mengikuti Erick Thohir di instagram, maka Anda harusnya akrab dengan takarir-takarir retoris dengan nada-nada "Demi kemajuan Indonesia". Pada awalnya, ide atau langkah Erick Thohir ini memang kontroversial. Namun para fan menikmatinya. Bahkan menangis haru bahagia menikmati hasilnya. Nah, kenapa gak sekalian saja kita amini jalannya. Menyerah kepada ide-ide Erick Thohir.
Naturalisasi atau pun jalur pembinaan bukanlah situasi ayam dan telur. Ia bisa jalan beriringan. Negara-negara lain juga melakukannya. Termasuk Amerika Serikat yang kapal kontingennya di Paris 2024 lalu menjadi salah satu yang paling besar. Ini masalah proporsi. Kita bisa lebih banyak naturalisasi. Negara lain lebih banyak memetik buah pembinaan. Suatu saat, mungkin kita juga bisa seperti itu. Atau sebaliknya juga, akan tumbuh negara-negara lain yang menempuh langkah serupa dengan kita.
Federasi nasional, khususnya sepakbola, saat ini tampaknya memilih langkah naturalisasi sebagai prioritas untuk menguatkan tim nasional. Aspek pembinaan seakan ditinggalkan. “Seakan”, bukan betul-betul ditinggalkan. Karena kompetisi nasional seperti Liga 1 (dan di bawahnya) dan IBL di bola basket adalah panggung besar atau muara besar aspek pembinaan dari dua cabang tersebut. Kekurangan-kekurangannya atau tantangan-tantangannya masih banyak. Buanyak. Harus pula dibenahi. Pembenahan yang serius bahkan tegas. Seserius dan setegas langkah-langkah yang menghasilkan para pemain naturalisasi yang tampak relatif sangat cepat. Federasi (PSSI dan Perbasi) dan Komite Penyelenggara kompetisi punya peran besar dalam membangun sistem pembinaan yang baik dan betul. Demikian pula tim-tim peserta, para pelatih, para atlet, dari level liga nasional, hingga ke akar-akar rumput.
Pada saat kondisi ekonomi nasional sedang tidak nyaman seperti saat-saat ini, penampilan atlet-atlet kita di berbagai ajang nasional dan internasional muncul bak obat penenang. Lihatlah parade Persib Bandung saat menjuarai Liga 1 beberapa waktu lalu. Masyarakat Bandung dan Jawa Barat tumpah ruah di jalan-jalan. Seakan sejenak melupakan apapun tantangan ekonomi yang sedang dihadapi. Lihatlah antusiasme atau animo masyarakat saat tim nasional Indonesia berlaga di Kualifikasi Piala Dunia FIFA. Lihatlah semarak format kompetisi kandang-tandang IBL dalam dua musim terakhir. Atau bahkan lihatlah keseruan Final DBL Jakarta di Indonesia Arena beberapa tahun terakhir.
Bagaimana dengan cabang olahraga yang lain? Pada titik ekstrim, kami langsung berpikir tentang bulu tangkis. Prestasi bulu tangkis sedang tidak mengasyikkan. Siapa tahu PBSI mulai terpikir langkah ini. Walau tentu saja sangat tidak terbayang kalau PBSI mengambil langkah ini. Hahaha. Belanda pernah mendapat berkah pemain naturalisasi Mia Audina dan merebut perak pada Olimpiade Atena 2004. Meski memang kabarnya Mia pindah status kewarganegaraan lebih karena mengikuti suami dan kesedihan mendalam karena ibundanya meninggal dunia. Bukan karena program khusus naturalisasi Badminton Nederland (federasi bulu tangkis Belanda).
Kembali lagi ke atas. Kembali ke Sean Putra Susilo. Seorang sosok atlet muda cabang atletik yang menggiurkan untuk menjadi aset olahraga nasional. Apabila kita memang memiliki urgensi luar biasa dalam mengedepankan prestasi olahraga di kancah internasional, menaturalisasi atau memberi kewarganegaraan Indonesia kepada Sean Putra Susilo bisa jadi langkah yang menarik. Bukan hanya menarik, di cabang atletik, boleh jadi sampel proporsi naturalisasi dan kemampuan membina atlet sendiri yang cukup seimbang. Kita bisa naturalisasi, dan kita juga pernah mampu menghasilkan atlet kaliber olimpiade pada diri Lalu Muhammad Zohri. Begitu juga pada cabang-cabang olahraga lainnya. Demi mengejar gengsi dan siapa tahu malah memicu dan memacu semangat dalam membina dan menghasilkan atlet kelas dunia lewat jalur pembinaan.
Jadi bagaimana? Kita sudah bisa mulai menormalisasi langkah-langkah naturalisasi sebagai langkah mempercepat prestasi? Serta memaklumi bahwa barangkali selama ini ide Erick Thohir memang benar, tepat, bahkan brilian. Bagaimana dengan harga atau ongkosnya? Ah, jangan-jangan sama saja? Atau naturalisasi malah lebih murah? (*)
Foto: fiba.basketball